0
PENDIDIKAN ALTERNATIF HOMESCHOOLING BERDASARKAN KAJIAN TEORI STRUKTURAL KONFLIK
Posted by Unknown
on
8:34 PM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masyarakat global telah dilanda syndrome kronis dan akut dalam personal
manusia dalam berbagai aspek, baik ideologi, moral, cultural, paradigma, dan
sebagainya. Noam Chomsky menilai globalisasi yang tidak memprioritaskan hak-hak
rakyat (masyarakat) sangat mungkin merosot terjerembab ke dalam bentuk tirani.
Globalisasi semacam itu didasarkan atas konsentrasi kekuasaan gabungan Negara
dan swasta yang secara umum tidak bertanggungjawab pada publik. Fenomena ini
berdampak besar bagi order social di dalam membangun peradaban.
Masalah sosial budaya dalam kehidupan begitu nyata, semakin hari
masalah-masalah itu timbul dengan banyak dan beragam dari kekerasan, paksaan,
penggusuran dan lain sebagainya. Era reformasi dimaksudkan untuk membangun
Indonesia baru, yaitu Indonesia yang demokratis, berkeadilan dan majemuk.
Memang harus diakui, masalah yang kita hadapi amat kompleks. Ilmu antropologi
juga berperan penting dalam pembangunan, mereka melakukan penelitian-penelitian
mengenai perubahan sosial dan kebudayaan, hubungan antar etnik atau suku
bangsa, perkotaan politik dan berbagai masalah sosial lainnya.
Bukan hanya dalam hal di atas, saat ini dalam dunia pendidikan dan
sekolah-sekolah formal kerap kali menjadi masalah yang sangat memberikan
kekhawatiran bagi orang tua dalam menyekolahkan anaknya. Belakang ini banyak
orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal sehingga menjadikan
homeschooling sebagai alternatif proses belajar mengajar dalam perkembangan
dunia pendidikan di Indonesia. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai
rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan
bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Selain itu, perhatian secara personal
pada anak, kurang diperhatikan.
Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli
ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang
diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh
teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih cerdas. Keadaan
demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan. Homeschooling
menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak,
mengembangkan nilai-nilai iman/agama dan moral serta mendapatkan suasana
belajar yang menyenangkan.
Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (homeschooling) tidak
hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga
mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses
belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak
untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan
belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi,2008).
Ilmu sosilogi dan antropologi pendidikan diharapkan dapat menjadi peran
vital dalam memajukan harkat dan martabat anak dan masyarakat melalui kesadaran
akan pendidikan. Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan akan menjadi ‘embrio’
bagi eksistensi kehidupan. Menumbuhkan sikap sosial, nilai-nilai iman, moral
dan pendidikan karakter yang dilahirkan baik dari pendidikan keluarga, sekolah
formal, ataupun sekolah alternatif homeschooling diharapkan dapat membangun
Indonesia yang demokratis dengan kesadaran akan pendidikan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penyusun
dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
sejarah pendidikan alternatif
Homeschooling ?
2.
Bagaimana
hakekat pendidikan alternatif Homeschooling di Indonesia ?
3.
Bagaimana
problematika pendidikan formal di Indonesia yang menyebabkan orang tua memilih
homeschooling ?
4.
Bagaimanakah
proses sosialisasi anak homeschooling di masyarakat dan kaitannya dengan teori
struktural konflik ?
5.
Seperti
apakah masa depan anak dengan pendidikan alternatif homeschooling ?
C. Tujuan
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun dari beberapa
masalah yang telah dirumuskan :
1.
Untuk
memenuhi tugas ulangan tengah semester mata kuliah sosiologi dan antropologi pendidikan;
2.
Untuk
mengetahui dan memahami sejarah perkembangan homeschooling di Indonesia;
3.
Untuk
mengetahui dan memahamai bagaimana hakekat pendidikan alternatif homeschooling;
4.
Untuk
mengetahui dan memahami problematika dalam pemilihan pendidikan alternatif
homeschooling;
5.
Untuk
mengetahui dan memahami sikap anak dalam bersosialisasi di masyarakat yang
berkaitan dengan teori struktural konflik;
6.
Untuk
mengetahui dan memahami bagaimana masa depan anak pendidikan alternatif
homeschooling.
BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ALTERNATIF HOMESCHOOLING
A.
Sejarah Pendidikan Alternatif
Homeschooling
Filosofi berdirinya sekolah rumah adalah
“manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu
ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah
orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John
Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu
oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan
perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru
dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada
siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi
disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun
1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian
mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early
childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa
memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya
tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya
anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka.
Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem
sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya
yang lain Instead
of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku
ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di berbagai
penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk
pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.
Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore
kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu,
homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan
keyakinan (beliefs)
, pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan
atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Perkembangan homeschooling di Indonesia belum
diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tetang akar
perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di
Indonesia. Namun jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran
yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah
sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah
mempraktekkan homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan
Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006).
B.
Hakekat Pendidikan Alternatif
Homeschooling
Homeschooling, sebuah sistem pendidikan atau pembelajaran yang
diselenggarakan di rumah, kini sedang ramai dibicarakan orang. Sejumlah media
masa, elektronik maupun cetak, juga ikut mempopulerkan sistem pendidikan
alternatif yang bertumpu pada suasa keluarga ini.
Persekolah di rumah ini semakin menjadi perhatian sejak begitu
banyaknya orangtua merasakan bahwa suasana pembelajaran di banyak sekolah
sering kurang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Akhirnya banyak anak
yang stres dan kehilangan kreativitas alamiahnya.
Melihat gambaran di atas, mulai berkembang berbagai gagasan dari
para pendidik, bagaimana menciptakan sekolah yang menyenangkan sekaligus
mencerdaskan anak. Lalu muncullah berbagai sekolah alternatif. Misalnya sekolah
alam yang memberikan ruang lebih banyak kepada anak berada dan belajar di alam
bebas.
Ada pula sekolah alternatif lain yang membebaskan anak untuk
belajar apa saja sesuai dengan minatnya. Di sini tidak ada kelas seperti halnya
sekolah formal. Fungsi guru lebih pada membimbing dan mengarahkan minat anak
dalam mata pelajaran yang disukainya.
Dari berbagai alternatif di atas, mucullah kemudian homeschooling
atau persekolah di rumah. Secara etimologis, homeschooling adalah sekolah yang
diadakan di rumah, namun menempatkan anak sebagai subjek dengan pendekatan
pendidikan secara at home. Dengan pendekatan ini anak merasa nyaman. Mereka
bisa belajar sesuai keinginan dan gaya belajar masing-masing, kapan saja dan di
mana saja, sebagaimana ia tengah berada di rumahnya sendiri.[1]
Di sini anak tidak terus menerus belajar di rumah, namun bisa di
mana dan kapan saja asal kondisinya betul-betul menyenangkan dan nyaman seperti
suasana di rumah. Maka, jam belajarnya pun sangat lentur, yaitu dari mulai
bangun tidur sampai berangkat tidur kembali.
Di banyak negara maju, konsep persekolahan di rumah ini sudah mulai
banyak dikembangkan. di Amerika Serikat misalnya sudah banyak disusun kurikulum
untuk persekolahan di rumah agar sistem pendidikannya memiliki konsep dan visi
yang jelas.
Sebetulnya di Indonesia, sudah lama mengenal konsep homeschooling
ini, bahkan jauh sebelum sistem pendidikan Barat datang. Contohnya di
pesantren-pesantren misalnya, para kiai, buya, dan tuan guru secara khusus
mendidik anak-anaknya sendiri.
Begitu pula para pendekar, bangsawan, atau seniman tempo dulu.
Mereka pun mendidik secara pribadi di rumah atau padepokan masing-masing
daripada sekedar mempercayakan kepada orang lain.
Tak kurang para tokoh besar semacam KH Agus Salim, Ki Hajar
Dewantara, atau Buya Hamka juga mengembangkan cara belajar dengan sistem
persekolahan di rumah ini, bukan sekedar agar lulus ujian kemudian memperoleh
ijazah, namun agar lebih mencintai dan mengembangkan ilmu itu sendiri.
Saat ini sistem persekolah di rumah juga bisa di kembangkan untuk
mendukung program pendidikan kesetaraan. Khususnya terhadap anak bermasalah,
seperti anak jalanan, buruh anak, anak suku terasing, sampai anak yang memiliki
keunggulan seperti atlet atau artis cilik yang padat dengan kegiatan mereka.
Sikap pemerintah terhadap homeschooling ini secara prinsip tidak
ada masalah. Karena sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam pasal 27 Ayat (1)
dikatakan : “Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.” Lalu pada Ayat (2)
dikatakan bahwa : “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui
sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian
sesuai dengan standar nasional pendidikan.” Jadi secara hukum, kegiatan
persekolahan di rumah dilindungi oleh undang-undang.
Metode home schooling atau klasifikasi bentuk persekolahan di rumah terdiri dari tiga jenis. Pertama, home schooling
tunggal, kemudian home schooling majemuk yang terdiri dari dua keluarga, dan
yang terakhir home schooling komunitas.
Home schooling tunggal di
lakukan oleh satu keluarga. Home schooling tunggal ini dilakukan di rumah.
Dalam hal ini orang tua bisa bertindak sebagai guru, jika pun ada guru yang
didatangkan secara privat hanya akan membimbing dan mengarahkan minat anak
dalam mata pelajaran yang disukainya. Ruang kelasnya bisa kamar tidur, dapur,
halaman rumah dan lain-lain. Waktu belajarnya pun bisa kapan saja, tergantung
kemauan anak untuk belajar. Jadi belajar bukan sebagai kewajiban tapi kebutuhan
bagi anak. Dalam home schooling, orang tua terjun langsung dalam proses
belajar. Namun, jika mereka kekurangan informasi mengenai akademis, atau tidak
mempunyai cukup waktu untuk memberi pelajaran intensif bagi anak, mereka bisa
memanggil tutor dari lembaga-lembaga yang khusus menyelenggarakan program home
schooling. Sebagai contoh, lembaga Asah Pena asuhan kak Seto. Lembaga ini
mempunyai tim yang namanya Badan Tutorial yang terdiri dari lulusan berbagai
jenis profesi pendidikan. Biasanya mereka melaksanakan pertemuan dua kali dalam
satu minggu bagi peserta Home Schooling yang terdiri dari beberapa paket yaitu
paket A setara dengan Sekolah Dasar (SD), paket B setara Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan paket C setara Sekolah Menengah Atas (SMA).
Home schooling
majemuk dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu
sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing.
Alasannya, terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa
keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya, kegiatan olahraga
(misalnya keluarga atlet tennis), keahlian musik/seni, kegiatan sosial dan
kegiatan agama.
Sementara home schooling komunitas adalah home schooling yang dibentuk dengan metode
pembelajaran secara tutorial. Dalam hal ini beberapa keluarga memberikan
kepercayaan kepada badan tutorial untuk memberi materi pelajaran. Badan
tutorial melakukan kunjungan ke tempat yang disediakan komunitas. Biasanya
kegiatan belajar mengajar hanya dilakukan selama tiga jam, dua kali dalam
seminggu. Selebihnya diarahkan untuk banyak belajar dirumah dan lingkungan
lainnya yang diminati
Dalam home
schooling komunitas, anak kelas satu, dua, dan tiga belajar dalam satu
ruangan. Disini anak diberi kebebasan dalam memilih pembelajaran tetapi tentu
saja tidak terlepas dari kurikulum yang dipakai, yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Acuan ini tetap dipakai, karena pada akhirnya
nanti anak akan mengikuti ujian kesetaraan, semacam ujian UN yang
diselenggarakan oleh Diknas atau komunitas lainnya yang sudah dilegalkan untuk
menyelenggarakan ujian tersebut.
Home schooling
juga menggunakan prinsip Diknas
yaitu multi entry dan multi exit atau mudah untuk masuk dan mudah untuk keluar.
Jadi jika anak bosan atau sudah tidak merasa nyaman dengan pendidikan formal di
kelas dua, maka anak dapat pindah ke kelas tiga di home
schooling, dan proses ini juga telah dilegalkan oleh pemerintah.
Di Indonesia komunitas homeschooling yang telah terbentuk antara
lain Morning Star Academy, Komunitas Homeschooling Berkemas, Homeschooling Kak
Seto, dan KerLip. Adapula asosiasi para homeschooler. Konsep dari model
pendidikan homeschooling adalah mengedepankan perkembangan potensi, bakat dan
minat anak secara spesifik.
Saat ini di beberapa lembaga di Indonesia telah mengembangkan
pendidikan homeschooling, salah satunya yaitu lembaga Pusat Kegiatan Belajar
Mengajar. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah
dalam menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM
sudah ada ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan saja, ada sekitar 25 lembaga
penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program
PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat SD), B (setingkat SMP), dan
Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan
selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi rumah para murid. Para
murid harus mengikuti ujian guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan
ke jenjang berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum, PKBM langsung
mengeluarkannya dari pusat.[2]
Ada beberapa tantangan yang menjadi kelemahan bagi penyelenggaran
persekolahan di rumah yaitu :
1.
Sulitnya
memperoleh dukungan atau tempat bertanya;
2.
Kurangnya
tempat sosialisasi dan orangtua harus terampil memfasilitasi proses
pembelajaran;
3.
Evaluasi
dan penyetaraannya.
Adapun kekuatan atau kelebihan persekolahan di rumah ialah lebih :
1.
Lebih
memberikan kemandirian dan kreativitas bagi anak;
2.
Peluang
untuk mencapai kompetensi individual secara maksimal;
3.
Terlindungi
dari penyakit sosial seperti narkoba, konsumerisme, pergaulan menyimpan dan
tawuran;
4.
Memungkinkan
anak siap menghadapi kehidupan nyata dengan lingkup pergaulan yang lebih luas.
Ini semakin memperkuat keyakinan bahwa model persekolahan di rumah
atau homeschooling bisa merupakan salah satu alternatif pendidikan di masa
depan, serta mempercepat tercapainya masyarakat belajar yang merupakan salah
satu dari masyarakat madani.
C.
Problematika Pendidikan Formal
di Indonesia dan Contoh Masalah yang Dihadapi Orang Tua Sehingga Memilih
Pendidikan Alternatif Homeschooling
1.
Problematika Pendidikan Formal
Di Indonesia, model pendidikan yang paling
terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem sekolah atau pendidikan formal
baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Sekolah umum seringkali
dipandang sebagian orang lebih valid dan disukai.
Mendapatkan pendidikan yang baik untuk anak
adalah keinginan setiap orangtua. Bermacam-macam jenis sekolah tumbuh bagai
jamur di musim penghujan. Semua mengiklankan diri sebagai sekolah dengan
beragam nilai plus agar dipilih orangtua bagi anaknya.
Ada yang memakai bahasa asing, menyediakan
beragam aktivitas di luar kelas, menggunakan gedung bertingkat dengan ruangan
ber-AC, hingga sekolah yang mengklaim diri menggabungkan kurikulum luar negeri
dan kurikulum berbasis kompetensi dari Departemen Pendidikan Nasional.
Apapun yang ditawarkan sekolah-sekolah itu,
ternyata tidak bisa memenuhi keinginan semua orangtua. Bagi sebagian orang,
sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak memuaskan bagi perkembangan
diri anak. Sampai saat ini masih banyak kritik yang terlontar tidak saja dari
orangtua, tetapi juga masyarakat, pemerhati pendidikan, hingga pemilik lapangan
pekerjaan. Sekolah umum menjadi kambing hitam atas output yang dikeluarkannya.
Hal ini terlihat dari output pendidikan formal banyak menjadi koruptor, pelaku
mafia peradilan, politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan
itulah memicu keluarga-keluarga memilih sekolah rumah alias homeschooling
sebagai pendidikan alternatif.
Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun
sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak
mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan
sekolah memiliki perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak
didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling,
tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua.
Sistem di sekolah terstandardisasi untuk
memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling
disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal
belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling
jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang
tua. Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan
kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi
pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan
ditentukan oleh orang tua.
Kecenderungan untuk menerapkan sistem belajar
homeschooling ini diakibatkan oleh adanya rasa ketidakpercayaan orangtua terhadap
pihak sekolah formal karena kurikulumnya terus berubah dan memberatkan anak,
menganggap anak sebagai objek bukan subjek, mamasung kreativitas dan kecerdasan
anak, baik dari segi emosi, moral, maupun spiritual.
Selain hal tersebut di atas, yang menjadi
alasan orang tua mengeluarkan anaknya dari sekolah formal dan memilih untuk
pendidikan alternatif homeschooling yaitu, pertama, sistem pendidikan di
sekolah dirasa hanya mengejar nilai rapor. Sedangkan keterampilan hidup dan
bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan
yang didapat, bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat
mendorong anak mencontek dan membeli ijazah palsu. Kedua, dalam hal pergaulan
banyak murid yang mencari identitas dari teman, bukan pada diri sendiri, banyak
murid yang terjebak, dia harus mempunyai barang yang sama dengan temannya agar
diterima di pergaulan. Ketiga, jika dilihat orang belajar karena kebiasaan
masyarakat, bukan keinginan atau kesadaran dari diri, misalnya sehabis SD harus
dilanjukan SMP, lalu SMA, terus kuliah. Banyak orangtua yang sudah menyadari
kelebihan anaknya namun anak tetap harus menempuh semua jenjang pendidikan
formal. Sedangkan eksplorasi pada kelebihan anak agak diabaikan karena
memandang pendidikan formal lebih penting. Akibatnya anak tidak merasa senang
bersekolah karena dia tidak tahu tujuan belajar di sekolah.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa problematika yang dihadapi orangtua terhadap pendidikan
formal membuat orang tua memilih pendidikan alternatif homeschooling dengan
faktor pendorong perkembangan pendidikan homeschooling yang lebih kuat, yaitu :
1) Kegagalan sekolah formal
Baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia,
kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik
menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk
menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan
didikan bermutu.
2) Teori Inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh
dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple
Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple
Intelligences (1983) yang digagas oleh Howard Gardner. Gardner
menggagas teori inteligensi ganda. Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7
jenis inteligensi (kecerdasan) manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia
menambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi
manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik;
Inteligensi matematis-logis; Inteligensi ruang-visual; Inteligensi
kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal; Inteligensi
intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi eksistensial. Teori
Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi
inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu
mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan
memasung inteligensi anak.
3) Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa
berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya
homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus
Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Benyamin Franklin misalnya, ia berhasil menjadi
seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan
karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti
sekolah karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia
belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan tempat
lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.
4) Tersedianya aneka sarana
Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut
dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain
fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum
(taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah
sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan),
dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual).[3]
2.
Contoh Masalah Yang Dihadapi Orangtua Dan Sikap
Yang Diambil Dengan Memilih Pendidikan Alternatif Homeschooling
Homeschooling sudah mulai menjadi pilihan yang
menarik bagi masyarakat dalam mendidik anak. Orangtua Gagah Tridarma Prastya
siswa SMA negeri di Jakarta, memilih mengeluarkan anaknya dari sekolah formal
dan lebih memilih untuk menyekolahkan anaknya di pendidikan alternatif
homeschooling. Orangtua Gagah mengatakan “Anak saya sepertinya mengalami banyak
masalah dalam belajar. Motivasinya agak berkurang sejak SMP. Padahal, waktu SD,
Gagah terbilang pandai dan sangat menyukai pelajaran. Saya bukannya mengayakan
sekolah formal buruk, tetapi sepertinya ada yang tidak bisa dipenuhi sekolah
formal bagi anak saya”.
Keputusan pindah model pendidikan bukannya
mudah, terlebih lagi ke sekolah rumah (homeschooling). Jika di sekolah formal
yang bertanggung jawab ialah sistem, sekolah, dan guru sedangkan pada
homeschooling kesuksesan benar-benar berada di tangan anak dan keluarga.
Anak-anak yang ikut pendidikan model homeschooling bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri.
Dalam penyelenggaraan kegiatan homeschooling
terdapat beberapa perbedaan dengan sekolah formal, di homeschooling ketika
berkumpul dengan tutor, tutor bertanya muridnya hendak belajar apa,
mengutamakan daya kreatif dan memberikan teori dan kunjungan ke lapangan lalu
mendiskusikannya.
Gagah merasa lebih senang dan cocok dengan
sistem itu. “Saya merasa lebih fokus. Jika ada yang tidak mengerti bisa
langsung bertanya ke tutor. Di sekolah lama susah karena satu kelas ada 40
orang siswa dengan satu guru” kata Gagah yang pindah ke pendidikan
homeschooling sejak kelas II SMA.
Orangtua Gagah mengatakan “Setelah Gagah
memutuskan untuk homeschooling, Gagah kini lebih banyak berinisiatif dan
komunikatif mengutarakan pendapatnya dan bercerita apa yang dialaminya
sehari-hari. Padahal sebelumnya sangat pendiam”.
Selain Gagah, Agus Hasan Hidayat putra dari
Bapak Masduki juga berpindah dari sekolah formal ke sekolah rumahan. “sejak
kelas I saya tidak betah di SMA lama saya di Serpong karena dari SMP yang
pindah ke situ hanya saya sendiri. jadi sulit menyesuaikan diri. Tadinya mau
pindah ke sekolah formal lain, tapi khawatir nanti sama saja” kata remaja 16
tahun itu.
Agus belajar di rumah dengan bantuan guru
privat IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris. Setiap pelajaran dua jam sehari,
Agus mengikuti komunitas homeschooling Kak Seto seminggu dua kali. Agus belajar
bersama dengan murid lain yang tingkatannya lebih tinggi. “Belajar bareng,
kadang ada materi yang belum pernah saya dapatkan di sekolah lama. Agar tidak
ketinggalan dari yang lain, saya beli buku dan belajar sendiri di rumah. Bisa
jadi saya akan lulus lebih cepat dibandingkan jika ikut sekolah formal”
katanya.
Agus merasa cocok dan nyaman dengan model
belajar homeschooling ini. Belajar di sekolah formal dinilai lebih melelahkan
secara fisik dan pikiran karena berada di ruang kelas dari pagi sampai sore.
Belum lagi tumpukan pekerjaan rumah. “saya sekarang lebih banyak membaca buku.
Kalau dulu tidak sempat karena keburu capek” katanya.
Selain Gagah dan Agus yang lebih memilih
homeschooling dengan permasalahan yang mereka miliki. Seorang ibu bernama Yayah
Komariah memilih pendidikan homeschooling untuk mendidik kelima anaknya.
Keinginan mendapatkan pendidikan berkualitas di tengah keterbatasan ekonomi
membuat ibu Yayah memilih mendidik anaknya sendiri di rumah “Masuk sekolah
formal yang bermutu biayanya mahal, walaupun saat ini telah ada program wajib
belajar 9 tahun dan memberikan bebas biaya untuk SD dan SMP tetapi jika
diperhitungkan uang jajan sehari dan biaya lain untuk kelima anak saya menurut
saya sangatlah mahal. Saya sempat mau mendaftarkan anak saya ke sekolah SD
negeri, tapi setelah saya melihat satu kelas ada 30 bahkan 40 orang dengan satu
guru, saya khawatir bakat anak saya tidak bisa berkembang secara maksimal” katanya.
Dengan pendidikan yang dilakukannya sendiri di
rumah dan mengikuti komunitas homeschooling Berkemas, akhirnya ibu Yayah
menciptakan model pembelajaran yang menekankan agar anak aktif dan sambil
bermain. Ibu Yayah memakai istilah kegiatan bukan belajar, karena menurutnya
jika menggunakan istilah belajar mereka langsung terlihat capek. Homeschooling
disini menekankan pada pembangunan karakter, minat dan bakat anak.
Di Amerika Serikat sekitar 1,35 juta anak telah
secara resmi mengikuti homeschooling. Padahal sekitar 20 tahun lalu
homeschooling di hampir seluruh bagian Amerika dianggap kejahatan. Itu tak
lepas kerena kurangnya sosialisasi anak, minimnya muatan kurikulum, dan
kurangnya proteksi terhadap anak yang belajar di rumah.
Awalnya homeschooling hanya dilakukan oleh
komunitas tertentu terkait ideologi dan agama. Belakangan ketidakpuasan secara
umum dengan sistem sekolah publik dan gaya hidup ikut berpengaruh. Seiring
dengan adanya gerakan homeschooling yang terus bergulir dan komunitas terus
membuktikan diri, akhirnya keberadaan homeschooling dapat diterima dan
legalitasnya pun diakui.[4]
D.
Proses Sosialisasi Anak
Pendidikan Alternatif Homeschooling di Masyarakat dan Kaitannya
dengan Teori Struktural Konflik
Berdasarkan pemaparan tentang problematika dan masalah-masalah yang
menyebabkan orangtua lebih memilih pendidikan alternatif homeschooling pada sub
bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa homeschooling memiliki suatu dampak yang
bernilai positif. Dampak positif
tersebut diantaranya :
1. Homeschooling mendidik langsung pada obyek dan kenyataan yang ada dalam
hidup. Lebih jelasnya adalah dengan obyek kehidupan yang nyata yang bisa
langsung dirasakan atau dilihat oleh peserta didik.
2. Pendidikan homeschooling ini adalah sarana pendidikan yang mandiri. Pendidikan
yang mengupayakan peserta didik belajar secara aktif dan memiliki pengendalian
diri.
3. Peserta didik mampu memiliki kepribadian yang tangguh, akhlak yang mulia,
dan keterampilan-keterampilan yang diinginkan dan dibutuhkan oleh peserta didik
serta masyarakat.
4. Homeschooling ini merupakan pendidikan yang dapat menyesuaikan kondisi
dengan kebutuhan anak dan keluarga. Karena dengan sistem pengajaran yang
terpusat pada seorang siswa, pembimbing mampu dengan mudah memahami karakter
anak dan mampu membuat strategi-strategi yang sesuai untuk anak.
5. Peserta didik homeschooling bisa lebih mandiri karena anak didik cenderung
belajar sendiri dan menemukan sesuatu sendiri dengan bantuan pendidik. Peserta
didik mencari tahu segala sesuatu yang ingin diketahuinya. Peserta didik
memilih apa yang disukainya dan apa yang tidak disukainya.
6. Peserta didik bisa memiliki potensi yang lebih besar, karena dia tidak
terikat dengan standar-standar sekolah yang diatur oleh pemerintah. Di
homeschooling peserta didik lebih bebas berkreasi, karena peserta didik dapat
melakukan apa yang dia inginkan yang tentunya itu adalah mendidik peserta didik
tersebut dan mampu menambah wawasan peserta didik.
7. Homeschooling ini cenderung membuat peserta didik mampu menyesuaikan diri
dengan orang yang lebih tua dan cenderung terlindungi dari pergaulan bebas atau
pergaulan yang tidak sesuai dengan norma.
8. Homeschooling ini bersifat ekonomis. Dapat disesuaikan dengan kemampuan
keluarga. Karena segala biaya dan kebutuhan diatur oleh keluarga itu sendiri, sehingga
keluarga dapat menentukan apa saja yang mereka perlukan.
9. Homeschooling tidak menuntut orang tua untuk serba tahu. Karena
pembelajaran homeschooling dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dan dengan
siapa saja. Anak dapat belajar tentang sesuatu yang ingin diketahuinya dengan
mencari tahu hal tersebut sendiri maupun dengan bantuan orang lain.
Dari pemaparan tentang dampak positif dari pendidikan alternatif
homeschooling, tentunya terdapat pula dampak negatif yang ditimbulkannya.
Contohnya seperti, peserta didik dari homeschooling ini harus memiliki
komitmen yang kuat antara siswa dengan pendidik tentang apa yang akan
dipelajarinya, waktu-waktu dalam pembelajaran kapan saja, sarana-sarana apa
yang ingin disediakan, situasi apa yang diinginkan, metode seperti apa yang
disenangi peserta didik, peran orang tua yang sangat dominan membuat anak
memiliki kemampuan terbatas dalam menyelesaikan permasalahan sosialnya dan yang
masih menjadi pertanyaan serta menjadi hal menarik untuk penyusun kaji lebih
mendalam mengenai kekurangan yang menonjol yaitu bagaimana proses sosialisasi
anak terhadap lingkungan sosial dengan kebudayaannya serta temen sebayanya.
Seperti kita tahu bahwa anak yang bersekolah di rumah hanya berkomunikasi
dengan sebagian orang serta kurangnya anak bersosialisasi dengan teman
sebayanya membuat kita ingin mengetahui apakah anak dengan pendidikan
homeschooling dalam bersosialisasi dengan mudah terhadap lingkungannya di
masyarakat ? Apakah anak tersebut bisa menjalin kerjasama (teamwork) dalam
dunia kerja setelah ia lulus ?
Sosialisasi
Jika kita berbicara tentang sosialisasi, menurut pandangan Kimball Young,
sosialisasi adalah hubungan interaktif yang degannya seseorang belajar
mempelajari keperluan sosial dan kultural, yang menjadikan seseorang sebagai
anggota masyarakat.
Sosialisasi dalam arti sempit merupakan proses bayi atau anak menempatkan
darinya dengan cara/ragam budaya masyarakatnya (tuntutan-tuntutan sosio-kultural
keluarga dan kelompok lainnya). Sementara itu dalam bukunya, Nasution
memberikan penjelasan tentang sosialisasi. Sosialisasi dikaitkan dengan
mendidik individu tentang kebudayaan yang harus dimiliki dan diikutinya agar ia
menjadi anggota yang baik dalam masyarakat dan dalam berbagai kelompok khusus. Sosialisasi
adalah proses belajar, individu belajar bertingkah laku, kebiasaan, serta
pola-pola kebudayaan lainnya juga keterampilan-keterampilan sosial seperti
berbahasa, bergaul, berpakaian, cara makan, dan sebagainya.
Sosialisasi adalah sesuatu yang terjadi pada manusia, nilai-nilai
diinternalisasikan, perilaku diubah sementara anak memberikan respons kepada
tekanan-tekanan yang diberikan kepada dirinya tersebut.[5]
Segala sesuatu yang dipelajari individu harus dipelajari dari anggota
masyarakat lain, secara sadar apa yang diajarkan oleh orangtua,
saudara-saudara, anggota keluarga lainnya, dan di sekolah kebanyakan oleh
gurunya. Dengan tak sadar ia belajar dengan mendapatkan informasi secara insidental
dalam berbagai situasi sambil mengamati kelakuan orang lain, membaca buku,
menonton televisi, mendengarkan percakapan orang lain, atau menyerap
kebiasaan-kebiasaan dalam lingkungannya.
Sosialisasi tercapai melalu komunikasi dengan anggota masyarakat lainnya.
Pola kelakuan yang diharapkan dari anak terus menerus disampaikan dalam segala
situasi tempat ia terlibat. Kelakuan yang tak sesuai dikesampingkan karena
menimbulkan konflik dengan lingkungan, sedangkan kelakuan yang sesuai dengan
norma yang diharapkan dimantapkan.[6]
Dan mengutip pengertian sosialisasi dari wikipedia, sosialisasi adalah
sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan dan nilai dan aturan dari satu
generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sosialisasi
dibagi menjadi dua, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder.
Sosialisasi primer terjadi dalam keluarga, sedangkan sosialisasi sekunder
terjadi apabila individu terjun ke masyarakat. Peter L. Beger dan Luckmann
mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani
individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat, yang
dalam hal ini adalah keluarga. Adapun sosialisasi sekunder adalah ketika
individu tersebut mulai keluar dan membaur ke masyarakat yang lebih luas.
Biasanya sosialisasi sekunder dimulai ketika seorang anak memasuki masa
sekolah.
Berdasarkan rentang usia di dalam sebuah kelompok masyarakat, ada
dua model sosialisasi yang biasanya dikenal, yaitu sosialisasi horizontal
(seumur) dan sosialisasi vertikal (lintas umur). Pergaulan di sekolah merupakan
contoh paling jelas mengenai model sosialisasi horizontal. Sementara itu,
anak-anak yang dididik dalam homeschooling memiliki model sosialisasi
yang berbeda. Anak-anak homeschooling memiliki sosialisasi vertikal (lintas
umur).[7]
Setelah kita mengetahui jenis sosialisasi, maka kita tentu bertanya-tanya
bagaimana dengan sosialisasi sekunder untuk anak yang dididik dengan pendidikan
alternatif homeschooling ini, jika kita kaji berdasarkan teori sosialisasi
Berger dan Luckmann, sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama kali
dialami individu. Pada sosialisasi primer ini, seorang anak akan bersosialisasi
dengan orang-orang yang lebih tua. Seorang bayi yang baru lahir akan
bersosialisasi dengan orang tuanya, kakaknya, kakek dan neneknya. Dia akan
mulai bersosialisasi dengan teman-teman sebanyanya yang seumuran dan seangkatan
(dan mungkin memiliki tanggal kelahiran sama) adalah ketika masuk sekolah.
Selepas sekolah, ia akan kembali berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda
generasi. Ketika memasuki dunia kerja, orang-orang yang ditemuinya bukanlah
orang-orang yang sebaya, seangkatan, seumuran, apalagi sama tanggal lahirnya,
tetapi orang-orang yang beda generasi. Ia akan bertemu dengan senior-senior
yang sudah seumuran dengan kakaknya, om dan tantenya, bahkan orang tuanya, atau
bahkan lebih tua dari orang tuanya. Bahkan di bangku kuliah pun orang sudah
berinteraksi dengan orang-orang yang lintas generasi. Satu angkatan bisa beda
tahun lulus, satu kelas pun bisa bareng senior atau junior. Sosialisasi yang
dilakukan di sekolah hanya sekedar sosialisasi horizonal yang dilakukan dengan
seumuran atau sebaya, sedangkan dalam kehidupan nyata pendidikan homeschooling
memiliki sosialisasi vertikal dimana anak akan lebih banyak berinteraksi dan
bersosialisasi dengan orang-orang yang berbeda latar belakang, umur dan
generasi.
Banyak orang yang menganggap sekolah formal sebagai sarana bersosialisasi.
Maka logikanya lulusan-lulusan sekolah formal akan tumbuh menjadi orang-orang
yang pandai bergaul, banyak teman, banyak jaringan, pintar berkomunikasi dan menyampaikan
pendapat. Namun pada kenyataannya, banyak anak-anak sekolah formal yang
pendiam, pemalu, sulit berkomuniasi, bahkan kuper. Dapatlah kita katakan bahwa
sosialisasi yang berlangsung di sekolah tidak menjadi seorang anak tumbuh
menjadi orang pandai yang pintar bekomunikasi dengan orang lain.
Dengan model sosialisasi vertikal yang dijalani sehari-hari,
keuntungan bagi anak-anak homeschooling adalah mereka tak membutuhkan
penyesuaian ketika bersosialisasi dan terjun ke masyarakat. Anak-anak
homeschooling relatif tak mengalami kesulitan dan tak membutuhkan proses
penyesuaian (adjustment) untuk aktif di
organisasi, lingkungan, atau tempat kerja karena lingkungan pergaulannya selama
ini selalu lintas-umur.
Model sosialisasi lintas-umur yang menjadi karakteristik utama
homeschooling tak berarti bahwa anak-anak homeschooling tidak bergaul dengan
teman sebayanya. Ketika anak-anak homeschooling mulai tumbuh besar dan
membutuhkan teman sebaya, orangtua biasanya mencari alternatif-alternatif untuk
membuka jalur pertemanan sebaya bagi anaknya.
Pertemanan sebaya anak-anak homeschooling biasanya diperoleh dengan
keterlibatan orangtua/anak pada kegiatan spiritual keagamaan yang dilakukan
orangtua (pengajian, sekolah minggu, kelompok meditasi, dsb); melalui
kursus-kursus yang diikuti anak, mengikuti klub hobi/minat, mengikuti kegiatan
dalam komunitas homeschooling, dan kegiatan-kegiatan lain yang melibatkan anak
sebaya.
Sosialisasi anak yang dilakukan dalam komunitas homeschooling yaitu
perkumpulan setiap 2 kali dalam seminggu untuk belajar kelompok bersama teman
sebaya dan para tutor. Disinilah terjadi sosialisasi dengan teman sebaya
diantara anak homeschooling. Bukan hanya hal itu, di komunitas homeschooling
biasanya mengadakan suatu praktek ke lapangan untuk mengkaji teori yang
diberikan oleh tutornya dan secara otomatis anak-anak homeschooling mengadakan
interaksi dengan masyarakat luar baik yang sebaya ataupun yang lebih tua
darinya.
Dalam kajian sosiologi pendidikan, jika kita lihat dari salah satu
tujuan sosiologi pendidikan yaitu menganalisis proses
sosialisasi anak, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal
ini harus diperhatikan pengaruh lingkungan dan kebudayaan masyarakat terhadap
perkembangan pribadi anak.
Anak dalam hal ini adalah seorang manusia. Dimana di dalam diri manusia
terdapat dua kepentingan, yaitu kepentingan individual dan kepentingan bersama.
Kepentingan individual didasarkan manusia sebagai mahluk individu, karena
pribadi manusia ingin memenuhi kebutuhan pribadi. Kepentingan bersama
didasarkan manusia sebagai mahluk sosial (kelompok) yang ingin memenuhi
kebutuhan bersama.
Manusia sebagai mahluk individu diartikan sebagai person atau perseorangan
sebagai diri pribadi. Manusia sebagai diri pribadi merupakan mahluk yang
diciptakan secara sempurna oleh Tuhan Yang Maha Esa. Disebutkan dalam Kitab
Suci Alquran bahwa “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
sebaik-baiknya”. Dalam ajaran agama-agama di dunia juga diterangkan sangat
jelas kedudukan manusia sebagai mahluk yang mulia, karena itu tidak dibenarkan
manusia melakukan perbuatan tercela. Sebaliknya, pribadi manusia dituntut mampu
berinteraksi, berkomunikasi, bekerjasama, bersosialisasi, dan saling
berlomba-lomba melalukan perubahan menuju yang lebih baik dengan individu lain.
Manusia sebagai mahluk sosial artinya manusia sebagai warga masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri untuk
mencukupi kebutuhan sendiri. meskipun dia mempunyai kedudukan dan kakayaan, dia
selalu membutuhkan bantuan manusia lain. Setiap manusia cenderung untuk
berkomunikasi, berinteraksi dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Bahkan
sejak lahir pun manusia sudah disebut sebagai mahluk sosial.[8]
Banyak faktor yang mendorong manusia secara individu membutuhkan dirinya
sebagai mahluk sosial sehingga terbentuk interaksi sosial dan proses
sosialisasi antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Secara garis besar
faktor-faktor personal yang mempengaruhi interaksi manusia terdiri dari tiga
hal yakni :
1. Tekanan emosional
Kondisi
psikologis seseorang sangat mempengaruhi bagaimana manusia berinteraksi satu
sama lain, apakah sedang bahagia, senang, atau sebaliknya sedih, berduka, dan
seterusnya.
2. Harga diri yang rendah
Ketika kondisi
seseorang berada dalam kondisi yang direndahkan, maka ia akan memiliki hasrat
yang tinggi untuk berhubungan dengan orang lain. Karena ketika seseorang merasa
direndahkan dengan secara spontan ia membutuhkan kasih sayang dari pihak lain
atau dukungan moral untuk membentuk kondisi psikologis kembali seperti semula.
3. Isolasi sosial
Orang yang
merasa atau dengan sengaja terisolasi oleh komunitasnya atau pihak-pihak tertentu,
maka ia akan berupaya melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau
sepemikiran agar terbentuk sebuah interaksi yang harmonis.
Sesuai dengan
kodratnya sebagai manusia yang memiliki kepentingan bersama, seorang anak pasti
akan melakukan interaksi dan sosialisasi dengan orang lain di sekitarnya.
Menurut pendapat penyusun, jika dikaitkan dengan faktor personal yang
mempengaruhi manusia untuk berinteraksi, proses sosialisasi anak homeschooling
dapat dilihat berdasarkan tekanan emosionalnya. Jika sedang dalam lingkungan
keluaga, seorang anak homeschooling akan mengomunikasikan hal yang sedang ia
rasakan kepala orangtuanya yang memang memiliki hubungan sangat erat. Tetapi
jika ia berada dalam masyarakat, dengan adanya proses sosialisasi yang telah
terbiasa ia lakukan di rumah serta faktor pendorong tekanan emosional mendorong
anak untuk lebih aktif dalam mengemukakan pendapatnya, lebih inisiatif dan
lebih komunikatif dalam mencetuskan apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
Ia akan lebih semangat dalam mengemukakan gagasannya jika keadaan emosinya
sedang dalam keadaan gembira.
Faktor kedua
yaitu harga diri yang rendah, anak homeschooling cenderung dianggap kurang
mampu bersosialisasi dan dianggap kuper oleh orang-orang atau bahkan teman
sebayanya. Hal ini membuat anak homeschooling merasa harga dirinya direndahkan.
Dengan perasaan tersebut maka anak homeschooling berusaha semaksimal mungkin
untuk melakukan sosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan dan
kebudayaannya. Dia ingin menunjukan kepada lingkungan bahwa ia sanggup
bersosialisasi dengan baik bahkan lebih baik dibandingkan dengan anak-anak
sekolah formal. Karena dalam pendidikan homeschooling yang telah ia jalani
tersebut memusatkan pada pendidikan dan pembentukan karakter, pengembangan
bakat dan minat siswa dengan sistem pendidikan yang mandiri.
Seperti telah di
jelaskan di atas, pendidikan homeschooling memusatkan pada pembentukan
karakter. Karakter berasal dari kata Latin “kharakter”, dan kemudian masuk
dalam bahasa Inggris menjadi “character”, sebelum akhirnya menjadi bahasa
Indonesia “karakter”. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai
tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa
membangun karakter (character building) adalah proses pengukiran atau pemahatan
jiwa dengan sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau
dapat dibedakan dengan orang lain. Karakter antara satu dengan yang lainnya
akan terlihat berbeda dan tidak ada yang sama.
Character building di
negara-negara maju diterapkan dengan metode yang menyenangkan dan aplikatif,
sedangkan di Indonesia penerapan pembelajaran Pancasila lebih pada pengetahuan
daripada implementasi, murid-murid selalu dihadapkan pada pertanyaan dan
hapalan kulit luar dari Pancasila, sedangkan substansinya hilang begitu saja
seiring dengan bertumpuknya pengetahuan kognitif mata pelajaran yang ada di
sekolah. character building sangat memungkinkan untuk dikembangkan melalui
homeschooling karena karakteristik dan metode yang digunakan dalam proses
pembelajarannya lebih komunikatif, serta tanggung jawab dari orang yang
melaksanakan homeschooling itu sendiri, terutama jika orang tua terjun langsung
dalam membelajarkan anak-anaknya.
Perspektif Teori Struktural Konflik
Di dalam sosiologi
pendidikan terdapat sebuah teori yang berkaitan dengan homeschooling. Teori
tersebut yaitu teori konflik. Teori ini lahir berdasarkan kepada rasa curiga
pada tingkat nasional dan internasional, maka tidaklah mengherankan bahwa
asumsi-asumsi fungsionalisme atau konsensualisme mulai dibenci, (Frank J.
Miffle dan Sydney C. Miffle, 1985, 77).
Sebelum memahami
tentang pengertian teori konflik, terlebih dahulu kita pahami tentang pengertian
konflik. Koflik lebih dipahami sebagai keadaan tidak berfungsinya,
komponen-komponen masyarakat sebagaimana mestinya atau gelaja penyakit dalam
masyarakat yang terintegrasi secara tidak sempurna. Tetapi secara empiris
konflik, tidak diakui karena orang lebih memilih stabilitas sebagai hakikat
masyarakat. Konflik memang tidak mengubah sistem sosial itu sendiri, namun
konflik menciptakan perubahan-perubahan di dalam sistem, dan konsekuensinya
sistem itu bisa lebih efektif.[9]
Teori konflik adalah
satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu
sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen yang mempunyai
kepetingan berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk menaklukan
komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh kepentingan
sebesar-besarnya.[10]
Gambaran mengenai teori
konflik disajikan oleh Dahrendorf (dalam Katanto Sunarto, 2000:230) dalam
asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan, perubahan ada dimana-mana;
b. Disensus dan konflik terdapat dimana-mana;
c. Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan
perubahan masyarakat;
d. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap
anggota yang lain.
Asumsi yang mendasari teori sosial non-marxian dahrendorf antara
lain :
1.
Manusia
sebagai mahluk sosial mempunyai andil bagi terjadinya disintegrasi dan
perubahan sosial;
2.
Masyarakat
selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan.
Fungsi konflik menurut Dahrendorf sebagai berikut :
1.
Membantu
mmebersihkan suasana yang sedang kacau;
2.
Katub
penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan;
3.
Energi-energi
agresif dalam konflik realitas (berasal dari kekecewaan) dan konflik tidak
realitas (berasal dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan), mungkin
terakumulasi dalam proses ingteraksi lain sebelum ketegangan dalam situasi
konflik diredakan;
4.
Konflik
tidak selalu berakhir dengan rasa permusuhan;
5.
Konflik
dapat dipakai sebagai indikator kekuatan dan stabilitas suatu hubungan;
6.
Konflik
dengan berbagai outgroup dapat memperkuat kohesi internal suatu kelompok.
Dahrendorf adalah tokoh utama teori konflik menganggap “wewenang”
dan “posisi” sebagai konsep sentral teorinya. Distribusi kekuasaan dan wewenang
secara tidak merata menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara
sistemis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda adanya berbagai posisi dalam
masyarakat. Dahrendorf menganalisis konflik dengan mengidentifikasikan berbagai
peranan dan kekuasaan dalam masyarakat. Danrendorf mengatakan bahwa kekuasaan
dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan, karena mereka yang
memegangnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo. Dalam
masyarakat selalu terdapat dua golongan yang bertentangan yaitu antara penguasa
dan yang dikuasai. Pertentangan terjadi karena golongan yang berkuasa berusaha
mempertahankan status quo, sedangkan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan
perubahan-perubahan. Pertentangan kepentingan selalu ada di setiap waktu dan
dalam setiap struktur.
Teori konflik Dahrendrof adalah mata rantai untuk antara konflik
dan perubahan sosial. Konflik memimpin ke arah perubahan dan pembangunan.
Karena dalam situasi konflik golongan yang terlibat konflik melakukan tindakan
perubahan dalam struktur sosial. Kalau konfliknya hebat, maka yang terjadi
adalah perubahan secara radikal. Bila konfliknya disertai kekerasan, maka
perubahan struktur akan efektif. Dahrendorf melihat masyarakat selalu dalam
kondisi konflik dengan mengabaikan norma-norma dan nilai yang berlaku umum yang
menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat.
Dahrendorf melihat bahwa kepentingan yang dikaitkan dengan
peran-peran didefinisikan sebagai peran-peran yang diharapkan. Hal itu bukanlah
kepentingan material. Peran yang dimaksud Dahrendorf berbeda dengan kepentingan
peran Lockwood dan pengertian Marx. Jadi setiap peran memiliki harapan yang
bertentangan yang dikaitkan dengannya. Suatu peran yang mengandung kekuasaan
membawa harapan bahwa kesesuaian itu dilaksanakan untuk keuntungan organisasi
sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan.
Dahrendorf menjelaskan, apa yang terjadi sangat tergantung pada pilihan orang
yang melakukan peran. Penjelasan Dahrendorf sesuai dengan apa yang dijelaskan
oleh Weingart, yaitu tentang voluntarisme suatu ide bahwa keteraturan sosial,
peraturan-peraturan dalam kehidupan sosial tergantung pada pilihan individu.
Dahrendorf melihat masyarakat berdimensi ganda, memiliki sisi
konflik sekaligus sisi kerja sama, sehingga segala sesuatunya dapat dianalisis
dengan fungsionalisme struktural dan dapat pula dengan konflik.
Asumsi teoretis struktural konflik :
a.
Masyarakat
terbentuk atas dasar konflik kepentingan
b.
Dorongan
anggota-anggota masyarakat menghasilkan perubahan
c.
Hubungan
antarwarga masyarakat bersifat devisive
d.
Ciri
oposisi lebih menonjol dalam hubungan sosial
e.
Konflik
struktural menjadi bagian dari perubahan sosial dalam masyarakat
f.
Masyarakat
juga ditandai oleh diferensiasi sosial yang semakin berkembang
g.
Sosial
disorder menyebabkan masyarakat menjadi dinamis.[11]
Para penganut teori
konflik dalam sosiologi pendidikan yaitu Bowles, Gintis, Louis, Althusser,
Pierre Bourdieu, Paulo Freire, dan Ivan Illich. Akan tetapi pendapat yang
mendekati mengenai masalah homeschooling adalah Ivan Illich.
Pendapat yang paling
ekstrim penganut teori konflik adalah Ivan Illich, Deschooling Society (1972)
atau “Bebas dari Sekolah”. Dikatakan Ivan Illich bahwa sekolah adalah tempat
anak-anak ditekan dan dipaksa untuk memperlajari hal-hal yang tidak mereka kehendaki
atau senangi, padahal belajar yang baik adalah yang berlangsung dalam suasana
bebas yang memungkinkan pelajar sendiri memilih pelajaran yang disukai.
Dari teori konflik
tersebut penyusun dapat menyimpulkan bahwa pendidikan homeschooling tidak salah
untuk dilakukan. Alasan orangtua menyekolahkan anaknya di pendidikan
homeschooling dalam kajian teori sosiologi pendidikan di dukung atau dapat
terima, karena memang masyarakat tersebut dituntut untuk dapat menerima
perubahan-perubahan yang ada dengan masalah yang ada pula. Masalah yang
dihadapi seperti telah dijelaskan di atas tentang bagaimana kegagalan sekolah
formal dalam menjalankan fungsiya sebagai lembaga pendidikan yang dianggap
sebagai suatu masalah besar yang dihadapi. Masalah ini membuat seseorang
mengadakan suatu perubahan dan menuntut orang lain dapat menerima perubahan
yang dilakukan tersebut. Dengan melakukan perubahan dari pengambilan keputusan
menyekolahkan anak ke homeschooling dianggap
dapat memenuhi pencapaian tujuan
pendidikan.
Perspektif struktural
teori konflik menghendaki adanya perkembangan diferensiasi sosial masyarakat
dan kedinamisan masyarakat dalam proses sosialnya. Kebanyakan orang mengganggap
bahwa pendidikan alternetif homeschooling tidak dapat menjadikan atau hanya menghasilkan
seorang anak yang susah bergaul dan bersosialisasi dengan lingkungannya dengan
baik karena memang sosialisasi sekunder salah satunya dilakukan di lingkungan
sekolah pada saat seorang anak tersebut duduk di bangku sekolah. Namun pada
kenyataannya anak pendidikan alternatif homeschooling dapat bersosialisasi
dengan baik bahkan dapat bersaing atau lebih baik dalam melakukan segala hal
dibandingkan dengan anak pendidikan formal. Disini yang menjadi konflik bahwa
sebagian masyarakat masih menganggap bahwa homeschooling tidaklah
menguntungkan, tetapi sebagian lainnya lebih menganggap bahwa homeschoolinglah
pendidikan yang paling baik untuk memberikan pendidikan anak yang lebih dekat
dengan keluarga dengan pendidikan karakter, minat dan bakat. Perbedaan
pandangan tersebut memunculkan suatu konflik di dalam masyarakat itu sendiri.
keberhasilan anak homeschooling dalam bersosialisasi di masyarakat tersebut
memberikan pemecahan dari konflik perbedaan pandangan masyarakat yang terjadi.
Pendidikan homeschooling telah merubah pandangan masyarakat dan menuntut
masyarakat untuk menerima perubahan dan menerima segala perkembangan
diferensiasi sosial yang ada di masyarakat tersebut. Jelaslah bahwa konflik
yang terjadi mengenai masalah perbedaan pandangan masyarakat bahwa anak didikan
pendidikan homeschooling tidaklah mudah untuk bersosialisasi dengan lingkungan
dimasyarakatnya dapatlah dipecahkan.
Dengan adanya perbedaan
mendidik anak yang dipilih orang tua dan perbedaan tersebut dianggaplah sebagai
suatu konflik tidaklah benar. Penyusun berpendapat, bahwa dengan adanya
perbedaan pemilihan pendidikan tersebut dapatlah semakin menambah suatu
pengalaman dan wawasan serta pengetahuan yang lebih mengenai suatu perubahan
yang ada serta menuntut dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat
memahami terlebih dahulu dengan cara melihat kualitas output dari pendidikan
alternatif tersebut untuk dapat menjawab bahwa anak pendidikan alternatif
homeschooling dapat bersosialisasi dengan lingkungannya di masyarakat dengan
baik sesuai norma, kebiasaan, dan kebudayaan serta karakter masyarakat dan
bangsanya.
E.
Masa Depan Anak Homeschooling
Memelihara kemerdekaan anak dan
mengasah mereka berjiwa mandiri, tantangan tersulit seorang pendidik. Hampir
seluruh anak indonesia tumbuh dengan rutinitas tanpa daya kejut dengan menu
wajib berupa tumpukan tugas bernama pekerjaan rumah, dilengkapi ketentuan
seragam, buku paket wajib, dan lulus ujian nasional.
Akibatnya, kreativitas berpikir
anak-anak indonesia pun jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata berpikir dari
negara tetangga sekalipun. Kebijakan ujian nasional yang kontroversional
sebagai penentu kelulusan dan penyelenggaraan kelas internasional, kelas
akselerasi, kelas unggulan di sekolah-sekolah negeri yang difavoritkan masyarakat,
menunjukan reendahnya komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan
yang bermutu. Mengejar ketrtinggalan dengan kebijakan dan penyelenggaraan
pendidikan yang diskriminatif ini apalagi dengan biaya selangit yang dibebankan
kepada orangtua siswa adalah tindakan yang salah.
Seharusnya pemerintah menjamin
pelayanan pendidikan dan prinsip penyelenggaraan pendidikan seperti yang
disebutkan dalam UU Nomer 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional,
khususnya pasal 4. Bahwa (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; (2)
pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem
terbuka dan multimakna; (3) pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat;
(4) pendidikan diselenggarakan dengan memberikan keteladanan, membangun
kemauan, dan pembangun kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Pendidikan anak bangsa tidak
terjalin di ruang hampa, tetapi dalam realita perubahan sosial yang sangat
dasyat. Pendidikan disekolah merupakan salah satu subsistem dari seluruh sistem
pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah.
Pengakuan pemerintah terhadap
komunitas sekolah rumah sebagai model pendidikan kesetaraan memperluas akses
terhadap pendidikan bermutu untuk semua anak dan hanya ddapat tersedia geratis
jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah membiayainya.
Fleksibelitas homeschooling
memungkinkan setiap anak menjalani proses alamiah untuk menjadi anak mandiri
dan bertanggung jawab. Jika sosialisasi diarahkan untuk mendidik anak menjadi
dewasa, kekhawatiran yang berlebihan tentang sosialisasi pelaku homeschooling
sangat tidak beralasan.
Menjadi tua adalah proses alamiah
dan dewasa adalah sebuah pilihan sadar. Seorang dianggap dewasa saat menyadari
peraturan, mampu bekerja sama, bahkan dengan orang yang belum dikenalnya
Homeschooling adalah pendidikan
alternatif yang menjadi tempat untuk menelaah realitas yang terjadi. Secara
personal individual, anak didampingi untuk mendalami suatu peristiwa. Mereka
tidak hanya diajak bersimpati tetapi diarahkan untuk berempati. Sosialisasi
seperti ini dijadikan sebagai pembelaan.
Meski demikian perlu disadari dunia
yang retak lebih membutuhkan keterlibatan dan terutama keberanian untuk hidup
bersama. Sejak dini anaksudah diakrabkan dengan realitas yang terbuka. Oleh
karena itu pendidikan formal merupakan tempat anak menghadapi realitas yang
sangat keras. Pertemuan anak dengan rekan lainnya yang meemiliki latar belakang
beragam merupakan benturan kuat.
Sekolah formal yang selama ini menjadi sasaran
kritik, karena terlalu menekankan dimensi intelektual (itu pun secara parsial),
perlu mengimbanginya dengan dimensi kelembutan kepribadian dan kesiapan motorik
menghadapi dunia kerja.
Berdasarkan pada realitas yang ada,
penyusun dapat menyimpulkan bahwa masa depan anak homeschooling memberikan
suatu gambaran yang cerah tentang pekerjaan yang ada dalam lingkungan dan tidak
jauh berbeda dengan kemampuan anak sekolah formal. Bahkan anak homeschooling
akan lebih inisiatif dan lebih memiliki kemampuan dalam memberikan aspirasinya
yang disertai dengan kemampuan dia dalam berkomunikasi dengan semua orang yang
berada di lingkungan yang terdiri dari anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Homeschooling muncul
atas filosofi John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail (1964) karena
alasan ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal yang kemudian
didukung Ray dan Dorothy Moor dengan melakukan penelitian yang menunjukkan
bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun tidak efektif.
Belum ada penelitian
khusus tentang akar perkembangan homeschooling di Indonesia. Saat ini
perkembangannya dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka
sehingga orang tua semakin memiliki banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.
Proses pembelajaran
homeschooling menggunakan metode belajar mengajar tidak terbelenggu oleh
dimensi ruang dan waktu secara formal. Guru hanya sebagai pembimbing dan
mengarahkan minat siswa pada mata pelajaran yang diminati. Dalam hal ini
siswalah yang menjadi subjek kurikulum bukan menjadi objek.
Kelebihan homeschooling
adalah menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan
suasana belajar yang lebih baik serta menyediakan waktu belajar yang lebih
fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama
bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap
orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja, narkoba
dan pelecehan. Selain itu sistem ini memberikan keterampilan khusus yang
menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama.
Kelemahan homeschooling
antara lain membtuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua;
dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko
kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan
dan proteksi berlebihan dari orang tua.
Dari kajian teori
struktural konflik menurut Dahrendorf serta penganut teori konflik sosiologi
pendidikan yaitu Ivan Illich, beliau mengatakan secara ekstrim “Bebas dari
Sekolah”. Dikatakan Ivan Illich bahwa sekolah adalah tempat anak-anak ditekan
dan dipaksa untuk memperlajari hal-hal yang tidak mereka kehendaki atau
senangi, padahal belajar yang baik adalah yang berlangsung dalam suasana bebas
yang memungkinkan pelajar sendiri memilih pelajaran yang disukai.
Homeschooling memiliki
peranan penting dalam mengembangkan pembelajaran yang memungkinkan pelajar
memilih pelajaran yang disukai dengan pengembangan pendidikan karakter, bakat,
dan minat serta sosialisasi dengan semua orang dengan jenjang usia yang berbeda
untuk mencapai suatu keberhasilan sosialisasi anak di lingkungan masyarakatnya
kelak.
DAFTAR
PUSTAKA
Bachtiar, Wardi Sosiologi
Klasik. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2006.
Rachman, Arief. Homeschooling Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku.
Jakarta : Kompas Media Nusantara. 2007.
Raho, Bernard. Teori
Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustaka. 2007.
Rifa’i, Muhammad. Sosiologi Pendidikan Struktur & Interaksi
Sosial di Dalam Institusi Pendidikan. Jogjakarta : Ar-ruzz Media. 2011.
Tumanggor, Rusmin dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana. 2012.
Wiraman, Ida Bagus. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Jakarta
: Kencana. 2013.
Pormadi.
Homeschooling. https://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling/
(diakses pada 02 April 2015)
Intisari Online. Homeschooling 4 Sosialisasi. http://www.intisari-online.com/read/faq-homeschooling-4-sosialisasi (diakses pada 02 April 2015)
[1] Arief Rachman,
Homeschooling Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku, (Jakarta : Kompas Media
Nusantara), 2007, hal : 18
[4] Op.Cit hal :
12
[5] Philip
Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, (Jakarta :
Rajawali), 1986, hal :64
[6] Muhammad
Rifa’i, Sosiologi Pendidikan Struktur & Interaksi Sosial di Dalam
Institusi Pendidikan, (Jogjakarta : Ar-ruzz Media), 2011, hal : 47
[7] Intisari Online, Homeschooling 4 Sosialisasi, http://www.intisari-online.com/read/faq-homeschooling-4-sosialisasi
[8] Rusmin
Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta : Kencana), 2012,
hal : 55
[9] Wardi Bachtiar,
Sosiologi Klasik, (Bandung : Remaja
Rosdakarya), 2006, hal : 107
[10] Bernard Raho, Teori
Sosiologi Modern, (Jakarta : Prestasi Pustaka), 2007, hal : 71
[11] Ida Bagus
Wiraman, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, (Jakarta : Kencana),
2013, hal : 91
Post a Comment