0

PENDIDIKAN ALTERNATIF HOMESCHOOLING BERDASARKAN KAJIAN TEORI STRUKTURAL KONFLIK

Posted by Unknown on 8:34 PM

BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Masyarakat global telah dilanda syndrome kronis dan akut dalam personal manusia dalam berbagai aspek, baik ideologi, moral, cultural, paradigma, dan sebagainya. Noam Chomsky menilai globalisasi yang tidak memprioritaskan hak-hak rakyat (masyarakat) sangat mungkin merosot terjerembab ke dalam bentuk tirani. Globalisasi semacam itu didasarkan atas konsentrasi kekuasaan gabungan Negara dan swasta yang secara umum tidak bertanggungjawab pada publik. Fenomena ini berdampak besar bagi order social di dalam membangun peradaban.
Masalah sosial budaya dalam kehidupan begitu nyata, semakin hari masalah-masalah itu timbul dengan banyak dan beragam dari kekerasan, paksaan, penggusuran dan lain sebagainya. Era reformasi dimaksudkan untuk membangun Indonesia baru, yaitu Indonesia yang demokratis, berkeadilan dan majemuk. Memang harus diakui, masalah yang kita hadapi amat kompleks. Ilmu antropologi juga berperan penting dalam pembangunan, mereka melakukan penelitian-penelitian mengenai perubahan sosial dan kebudayaan, hubungan antar etnik atau suku bangsa, perkotaan politik dan berbagai masalah sosial lainnya.
Bukan hanya dalam hal di atas, saat ini dalam dunia pendidikan dan sekolah-sekolah formal kerap kali menjadi masalah yang sangat memberikan kekhawatiran bagi orang tua dalam menyekolahkan anaknya. Belakang ini banyak orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal sehingga menjadikan homeschooling sebagai alternatif proses belajar mengajar dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan.
Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih cerdas. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan. Homeschooling menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai iman/agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan.
Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (homeschooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi,2008).
Ilmu sosilogi dan antropologi pendidikan diharapkan dapat menjadi peran vital dalam memajukan harkat dan martabat anak dan masyarakat melalui kesadaran akan pendidikan. Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan akan menjadi ‘embrio’ bagi eksistensi kehidupan. Menumbuhkan sikap sosial, nilai-nilai iman, moral dan pendidikan karakter yang dilahirkan baik dari pendidikan keluarga, sekolah formal, ataupun sekolah alternatif homeschooling diharapkan dapat membangun Indonesia yang demokratis dengan kesadaran akan pendidikan tersebut.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penyusun dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah sejarah pendidikan alternatif  Homeschooling ?
2.      Bagaimana hakekat pendidikan alternatif Homeschooling di Indonesia ?
3.      Bagaimana problematika pendidikan formal di Indonesia yang menyebabkan orang tua memilih homeschooling ?
4.      Bagaimanakah proses sosialisasi anak homeschooling di masyarakat dan kaitannya dengan teori struktural konflik ?
5.      Seperti apakah masa depan anak dengan pendidikan alternatif homeschooling ?

C.     Tujuan

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun dari beberapa masalah yang telah dirumuskan :
1.      Untuk memenuhi tugas ulangan tengah semester mata kuliah sosiologi dan antropologi pendidikan;
2.      Untuk mengetahui dan memahami sejarah perkembangan homeschooling di Indonesia;
3.      Untuk mengetahui dan memahamai bagaimana hakekat pendidikan alternatif homeschooling;
4.      Untuk mengetahui dan memahami problematika dalam pemilihan pendidikan alternatif homeschooling;
5.      Untuk mengetahui dan memahami sikap anak dalam bersosialisasi di masyarakat yang berkaitan dengan teori struktural konflik;
6.      Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masa depan anak pendidikan alternatif homeschooling.



BAB II

PEMBAHASAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ALTERNATIF HOMESCHOOLING


A.    Sejarah Pendidikan Alternatif Homeschooling

Filosofi berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka.
Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.
Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs) , pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006).

B.     Hakekat Pendidikan Alternatif Homeschooling

Homeschooling, sebuah sistem pendidikan atau pembelajaran yang diselenggarakan di rumah, kini sedang ramai dibicarakan orang. Sejumlah media masa, elektronik maupun cetak, juga ikut mempopulerkan sistem pendidikan alternatif yang bertumpu pada suasa keluarga ini.
Persekolah di rumah ini semakin menjadi perhatian sejak begitu banyaknya orangtua merasakan bahwa suasana pembelajaran di banyak sekolah sering kurang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Akhirnya banyak anak yang stres dan kehilangan kreativitas alamiahnya.
Melihat gambaran di atas, mulai berkembang berbagai gagasan dari para pendidik, bagaimana menciptakan sekolah yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan anak. Lalu muncullah berbagai sekolah alternatif. Misalnya sekolah alam yang memberikan ruang lebih banyak kepada anak berada dan belajar di alam bebas.
Ada pula sekolah alternatif lain yang membebaskan anak untuk belajar apa saja sesuai dengan minatnya. Di sini tidak ada kelas seperti halnya sekolah formal. Fungsi guru lebih pada membimbing dan mengarahkan minat anak dalam mata pelajaran yang disukainya.
Dari berbagai alternatif di atas, mucullah kemudian homeschooling atau persekolah di rumah. Secara etimologis, homeschooling adalah sekolah yang diadakan di rumah, namun menempatkan anak sebagai subjek dengan pendekatan pendidikan secara at home. Dengan pendekatan ini anak merasa nyaman. Mereka bisa belajar sesuai keinginan dan gaya belajar masing-masing, kapan saja dan di mana saja, sebagaimana ia tengah berada di rumahnya sendiri.[1]
Di sini anak tidak terus menerus belajar di rumah, namun bisa di mana dan kapan saja asal kondisinya betul-betul menyenangkan dan nyaman seperti suasana di rumah. Maka, jam belajarnya pun sangat lentur, yaitu dari mulai bangun tidur sampai berangkat tidur kembali.
Di banyak negara maju, konsep persekolahan di rumah ini sudah mulai banyak dikembangkan. di Amerika Serikat misalnya sudah banyak disusun kurikulum untuk persekolahan di rumah agar sistem pendidikannya memiliki konsep dan visi yang jelas.
Sebetulnya di Indonesia, sudah lama mengenal konsep homeschooling ini, bahkan jauh sebelum sistem pendidikan Barat datang. Contohnya di pesantren-pesantren misalnya, para kiai, buya, dan tuan guru secara khusus mendidik anak-anaknya sendiri.
Begitu pula para pendekar, bangsawan, atau seniman tempo dulu. Mereka pun mendidik secara pribadi di rumah atau padepokan masing-masing daripada sekedar mempercayakan kepada orang lain.
Tak kurang para tokoh besar semacam KH Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, atau Buya Hamka juga mengembangkan cara belajar dengan sistem persekolahan di rumah ini, bukan sekedar agar lulus ujian kemudian memperoleh ijazah, namun agar lebih mencintai dan mengembangkan ilmu itu sendiri.
Saat ini sistem persekolah di rumah juga bisa di kembangkan untuk mendukung program pendidikan kesetaraan. Khususnya terhadap anak bermasalah, seperti anak jalanan, buruh anak, anak suku terasing, sampai anak yang memiliki keunggulan seperti atlet atau artis cilik yang padat dengan kegiatan mereka.
Sikap pemerintah terhadap homeschooling ini secara prinsip tidak ada masalah. Karena sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam pasal 27 Ayat (1) dikatakan : “Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.” Lalu pada Ayat (2) dikatakan bahwa : “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.” Jadi secara hukum, kegiatan persekolahan di rumah dilindungi oleh undang-undang.
Metode home schooling atau klasifikasi bentuk persekolahan di rumah terdiri dari tiga jenis. Pertama, home schooling tunggal, kemudian home schooling majemuk yang terdiri dari dua keluarga, dan yang terakhir home schooling komunitas.
Home schooling tunggal di lakukan oleh satu keluarga. Home schooling tunggal ini dilakukan di rumah. Dalam hal ini orang tua bisa bertindak sebagai guru, jika pun ada guru yang didatangkan secara privat hanya akan membimbing dan  mengarahkan minat anak dalam mata pelajaran yang disukainya. Ruang kelasnya bisa kamar tidur, dapur, halaman rumah dan lain-lain. Waktu belajarnya pun bisa kapan saja, tergantung kemauan anak untuk belajar. Jadi belajar bukan sebagai kewajiban tapi kebutuhan bagi anak. Dalam home schooling, orang tua terjun langsung dalam proses belajar. Namun, jika mereka kekurangan informasi mengenai akademis, atau tidak mempunyai cukup waktu untuk memberi pelajaran intensif bagi anak, mereka bisa memanggil tutor dari lembaga-lembaga yang khusus menyelenggarakan program home schooling. Sebagai contoh, lembaga Asah Pena asuhan kak Seto. Lembaga ini mempunyai tim yang namanya Badan Tutorial yang terdiri dari lulusan berbagai jenis profesi pendidikan. Biasanya mereka melaksanakan pertemuan dua kali dalam satu minggu bagi peserta Home Schooling yang terdiri dari beberapa paket yaitu paket A setara dengan Sekolah Dasar (SD), paket B setara Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan paket C setara Sekolah Menengah Atas (SMA).
Home schooling majemuk dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Alasannya, terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya, kegiatan olahraga (misalnya keluarga atlet tennis), keahlian musik/seni, kegiatan sosial dan kegiatan agama.
Sementara home schooling komunitas adalah home schooling yang dibentuk dengan metode pembelajaran secara tutorial. Dalam hal ini beberapa keluarga memberikan kepercayaan kepada badan tutorial untuk memberi materi pelajaran. Badan tutorial melakukan kunjungan ke tempat yang disediakan komunitas. Biasanya kegiatan belajar mengajar hanya dilakukan selama tiga jam, dua kali dalam seminggu. Selebihnya diarahkan untuk banyak belajar dirumah dan lingkungan lainnya yang diminati
Dalam home schooling komunitas, anak kelas satu, dua, dan tiga belajar dalam satu ruangan. Disini anak diberi kebebasan dalam memilih pembelajaran tetapi tentu saja tidak terlepas dari kurikulum yang dipakai, yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan  (KTSP). Acuan ini tetap dipakai, karena pada akhirnya nanti anak akan mengikuti ujian kesetaraan, semacam ujian UN yang diselenggarakan oleh Diknas atau komunitas lainnya yang sudah dilegalkan untuk menyelenggarakan ujian tersebut.
Home schooling juga menggunakan prinsip Diknas yaitu multi entry dan multi exit atau mudah untuk masuk dan mudah untuk keluar. Jadi jika anak bosan atau sudah tidak merasa nyaman dengan pendidikan formal di kelas dua, maka anak dapat pindah ke kelas tiga di home schooling, dan proses ini juga telah dilegalkan oleh pemerintah.
Di Indonesia komunitas homeschooling yang telah terbentuk antara lain Morning Star Academy, Komunitas Homeschooling Berkemas, Homeschooling Kak Seto, dan KerLip. Adapula asosiasi para homeschooler. Konsep dari model pendidikan homeschooling adalah mengedepankan perkembangan potensi, bakat dan minat anak secara spesifik.
Saat ini di beberapa lembaga di Indonesia telah mengembangkan pendidikan homeschooling, salah satunya yaitu lembaga Pusat Kegiatan Belajar Mengajar. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM sudah ada ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan saja, ada sekitar 25 lembaga penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat SD), B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum, PKBM langsung mengeluarkannya dari pusat.[2]
Ada beberapa tantangan yang menjadi kelemahan bagi penyelenggaran persekolahan di rumah yaitu :
1.      Sulitnya memperoleh dukungan atau tempat bertanya;
2.      Kurangnya tempat sosialisasi dan orangtua harus terampil memfasilitasi proses pembelajaran;
3.      Evaluasi dan penyetaraannya.
Adapun kekuatan atau kelebihan persekolahan di rumah ialah lebih :
1.      Lebih memberikan kemandirian dan kreativitas bagi anak;
2.      Peluang untuk mencapai kompetensi individual secara maksimal;
3.      Terlindungi dari penyakit sosial seperti narkoba, konsumerisme, pergaulan menyimpan dan tawuran;
4.      Memungkinkan anak siap menghadapi kehidupan nyata dengan lingkup pergaulan yang lebih luas.
Ini semakin memperkuat keyakinan bahwa model persekolahan di rumah atau homeschooling bisa merupakan salah satu alternatif pendidikan di masa depan, serta mempercepat tercapainya masyarakat belajar yang merupakan salah satu dari masyarakat madani.

C.     Problematika Pendidikan Formal di Indonesia dan Contoh Masalah yang Dihadapi Orang Tua Sehingga Memilih Pendidikan Alternatif Homeschooling

1.      Problematika Pendidikan Formal
Di Indonesia, model pendidikan yang paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem sekolah atau pendidikan formal baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Sekolah umum seringkali dipandang sebagian orang lebih valid dan disukai.
Mendapatkan pendidikan yang baik untuk anak adalah keinginan setiap orangtua. Bermacam-macam jenis sekolah tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Semua mengiklankan diri sebagai sekolah dengan beragam nilai plus agar dipilih orangtua bagi anaknya.
Ada yang memakai bahasa asing, menyediakan beragam aktivitas di luar kelas, menggunakan gedung bertingkat dengan ruangan ber-AC, hingga sekolah yang mengklaim diri menggabungkan kurikulum luar negeri dan kurikulum berbasis kompetensi dari Departemen Pendidikan Nasional.
Apapun yang ditawarkan sekolah-sekolah itu, ternyata tidak bisa memenuhi keinginan semua orangtua. Bagi sebagian orang, sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak memuaskan bagi perkembangan diri anak. Sampai saat ini masih banyak kritik yang terlontar tidak saja dari orangtua, tetapi juga masyarakat, pemerhati pendidikan, hingga pemilik lapangan pekerjaan. Sekolah umum menjadi kambing hitam atas output yang dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari output pendidikan formal banyak menjadi koruptor, pelaku mafia peradilan, politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan itulah memicu keluarga-keluarga memilih sekolah rumah alias homeschooling sebagai pendidikan alternatif.
Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua.
Sistem di sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua. Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua.
Kecenderungan untuk menerapkan sistem belajar homeschooling ini diakibatkan oleh adanya rasa ketidakpercayaan orangtua terhadap pihak sekolah formal karena kurikulumnya terus berubah dan memberatkan anak, menganggap anak sebagai objek bukan subjek, mamasung kreativitas dan kecerdasan anak, baik dari segi emosi, moral, maupun spiritual.
Selain hal tersebut di atas, yang menjadi alasan orang tua mengeluarkan anaknya dari sekolah formal dan memilih untuk pendidikan alternatif homeschooling yaitu, pertama, sistem pendidikan di sekolah dirasa hanya mengejar nilai rapor. Sedangkan keterampilan hidup dan bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan yang didapat, bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak mencontek dan membeli ijazah palsu. Kedua, dalam hal pergaulan banyak murid yang mencari identitas dari teman, bukan pada diri sendiri, banyak murid yang terjebak, dia harus mempunyai barang yang sama dengan temannya agar diterima di pergaulan. Ketiga, jika dilihat orang belajar karena kebiasaan masyarakat, bukan keinginan atau kesadaran dari diri, misalnya sehabis SD harus dilanjukan SMP, lalu SMA, terus kuliah. Banyak orangtua yang sudah menyadari kelebihan anaknya namun anak tetap harus menempuh semua jenjang pendidikan formal. Sedangkan eksplorasi pada kelebihan anak agak diabaikan karena memandang pendidikan formal lebih penting. Akibatnya anak tidak merasa senang bersekolah karena dia tidak tahu tujuan belajar di sekolah.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa problematika yang dihadapi orangtua terhadap pendidikan formal membuat orang tua memilih pendidikan alternatif homeschooling dengan faktor pendorong perkembangan pendidikan homeschooling yang lebih kuat, yaitu :
1)      Kegagalan sekolah formal
Baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.
2)      Teori Inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983) yang digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda. Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan) manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi matematis-logis; Inteligensi ruang-visual; Inteligensi kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal; Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi eksistensial. Teori Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan memasung inteligensi anak.
3)      Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Benyamin Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.
4)      Tersedianya aneka sarana
Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual).[3]

2.      Contoh Masalah Yang Dihadapi Orangtua Dan Sikap Yang Diambil Dengan Memilih Pendidikan Alternatif Homeschooling
Homeschooling sudah mulai menjadi pilihan yang menarik bagi masyarakat dalam mendidik anak. Orangtua Gagah Tridarma Prastya siswa SMA negeri di Jakarta, memilih mengeluarkan anaknya dari sekolah formal dan lebih memilih untuk menyekolahkan anaknya di pendidikan alternatif homeschooling. Orangtua Gagah mengatakan “Anak saya sepertinya mengalami banyak masalah dalam belajar. Motivasinya agak berkurang sejak SMP. Padahal, waktu SD, Gagah terbilang pandai dan sangat menyukai pelajaran. Saya bukannya mengayakan sekolah formal buruk, tetapi sepertinya ada yang tidak bisa dipenuhi sekolah formal bagi anak saya”.
Keputusan pindah model pendidikan bukannya mudah, terlebih lagi ke sekolah rumah (homeschooling). Jika di sekolah formal yang bertanggung jawab ialah sistem, sekolah, dan guru sedangkan pada homeschooling kesuksesan benar-benar berada di tangan anak dan keluarga. Anak-anak yang ikut pendidikan model homeschooling bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Dalam penyelenggaraan kegiatan homeschooling terdapat beberapa perbedaan dengan sekolah formal, di homeschooling ketika berkumpul dengan tutor, tutor bertanya muridnya hendak belajar apa, mengutamakan daya kreatif dan memberikan teori dan kunjungan ke lapangan lalu mendiskusikannya.
Gagah merasa lebih senang dan cocok dengan sistem itu. “Saya merasa lebih fokus. Jika ada yang tidak mengerti bisa langsung bertanya ke tutor. Di sekolah lama susah karena satu kelas ada 40 orang siswa dengan satu guru” kata Gagah yang pindah ke pendidikan homeschooling sejak kelas II SMA.
Orangtua Gagah mengatakan “Setelah Gagah memutuskan untuk homeschooling, Gagah kini lebih banyak berinisiatif dan komunikatif mengutarakan pendapatnya dan bercerita apa yang dialaminya sehari-hari. Padahal sebelumnya sangat pendiam”.
Selain Gagah, Agus Hasan Hidayat putra dari Bapak Masduki juga berpindah dari sekolah formal ke sekolah rumahan. “sejak kelas I saya tidak betah di SMA lama saya di Serpong karena dari SMP yang pindah ke situ hanya saya sendiri. jadi sulit menyesuaikan diri. Tadinya mau pindah ke sekolah formal lain, tapi khawatir nanti sama saja” kata remaja 16 tahun itu.
Agus belajar di rumah dengan bantuan guru privat IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris. Setiap pelajaran dua jam sehari, Agus mengikuti komunitas homeschooling Kak Seto seminggu dua kali. Agus belajar bersama dengan murid lain yang tingkatannya lebih tinggi. “Belajar bareng, kadang ada materi yang belum pernah saya dapatkan di sekolah lama. Agar tidak ketinggalan dari yang lain, saya beli buku dan belajar sendiri di rumah. Bisa jadi saya akan lulus lebih cepat dibandingkan jika ikut sekolah formal” katanya.
Agus merasa cocok dan nyaman dengan model belajar homeschooling ini. Belajar di sekolah formal dinilai lebih melelahkan secara fisik dan pikiran karena berada di ruang kelas dari pagi sampai sore. Belum lagi tumpukan pekerjaan rumah. “saya sekarang lebih banyak membaca buku. Kalau dulu tidak sempat karena keburu capek” katanya.
Selain Gagah dan Agus yang lebih memilih homeschooling dengan permasalahan yang mereka miliki. Seorang ibu bernama Yayah Komariah memilih pendidikan homeschooling untuk mendidik kelima anaknya. Keinginan mendapatkan pendidikan berkualitas di tengah keterbatasan ekonomi membuat ibu Yayah memilih mendidik anaknya sendiri di rumah “Masuk sekolah formal yang bermutu biayanya mahal, walaupun saat ini telah ada program wajib belajar 9 tahun dan memberikan bebas biaya untuk SD dan SMP tetapi jika diperhitungkan uang jajan sehari dan biaya lain untuk kelima anak saya menurut saya sangatlah mahal. Saya sempat mau mendaftarkan anak saya ke sekolah SD negeri, tapi setelah saya melihat satu kelas ada 30 bahkan 40 orang dengan satu guru, saya khawatir bakat anak saya tidak bisa berkembang secara maksimal” katanya.
Dengan pendidikan yang dilakukannya sendiri di rumah dan mengikuti komunitas homeschooling Berkemas, akhirnya ibu Yayah menciptakan model pembelajaran yang menekankan agar anak aktif dan sambil bermain. Ibu Yayah memakai istilah kegiatan bukan belajar, karena menurutnya jika menggunakan istilah belajar mereka langsung terlihat capek. Homeschooling disini menekankan pada pembangunan karakter, minat dan bakat anak.
Di Amerika Serikat sekitar 1,35 juta anak telah secara resmi mengikuti homeschooling. Padahal sekitar 20 tahun lalu homeschooling di hampir seluruh bagian Amerika dianggap kejahatan. Itu tak lepas kerena kurangnya sosialisasi anak, minimnya muatan kurikulum, dan kurangnya proteksi terhadap anak yang belajar di rumah.
Awalnya homeschooling hanya dilakukan oleh komunitas tertentu terkait ideologi dan agama. Belakangan ketidakpuasan secara umum dengan sistem sekolah publik dan gaya hidup ikut berpengaruh. Seiring dengan adanya gerakan homeschooling yang terus bergulir dan komunitas terus membuktikan diri, akhirnya keberadaan homeschooling dapat diterima dan legalitasnya pun diakui.[4]



D.    Proses Sosialisasi Anak Pendidikan Alternatif Homeschooling di Masyarakat dan Kaitannya dengan Teori Struktural Konflik


Berdasarkan pemaparan tentang problematika dan masalah-masalah yang menyebabkan orangtua lebih memilih pendidikan alternatif homeschooling pada sub bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa homeschooling memiliki suatu dampak yang bernilai positif.  Dampak positif tersebut diantaranya :
1.      Homeschooling mendidik langsung pada obyek dan kenyataan yang ada dalam hidup. Lebih jelasnya adalah dengan obyek kehidupan yang nyata yang bisa langsung dirasakan atau dilihat oleh peserta didik.
2.      Pendidikan homeschooling ini adalah sarana pendidikan yang mandiri. Pendidikan yang mengupayakan peserta didik belajar secara aktif dan memiliki pengendalian diri.
3.      Peserta didik mampu memiliki kepribadian yang tangguh, akhlak yang mulia, dan keterampilan-keterampilan yang diinginkan dan dibutuhkan oleh peserta didik serta masyarakat.
4.      Homeschooling ini merupakan pendidikan yang dapat menyesuaikan kondisi dengan kebutuhan anak dan keluarga. Karena dengan sistem pengajaran yang terpusat pada seorang siswa, pembimbing mampu dengan mudah memahami karakter anak dan mampu membuat strategi-strategi yang sesuai untuk anak.
5.      Peserta didik homeschooling bisa lebih mandiri karena anak didik cenderung belajar sendiri dan menemukan sesuatu sendiri dengan bantuan pendidik. Peserta didik mencari tahu segala sesuatu yang ingin diketahuinya. Peserta didik memilih apa yang disukainya dan apa yang tidak disukainya.
6.      Peserta didik bisa memiliki potensi yang lebih besar, karena dia tidak terikat dengan standar-standar sekolah yang diatur oleh pemerintah. Di homeschooling peserta didik lebih bebas berkreasi, karena peserta didik dapat melakukan apa yang dia inginkan yang tentunya itu adalah mendidik peserta didik tersebut dan mampu menambah wawasan peserta didik.
7.      Homeschooling ini cenderung membuat peserta didik mampu menyesuaikan diri dengan orang yang lebih tua dan cenderung terlindungi dari pergaulan bebas atau pergaulan yang tidak sesuai dengan norma.
8.      Homeschooling ini bersifat ekonomis. Dapat disesuaikan dengan kemampuan keluarga. Karena segala biaya dan kebutuhan diatur oleh keluarga itu sendiri, sehingga keluarga dapat menentukan apa saja yang mereka perlukan.
9.      Homeschooling tidak menuntut orang tua untuk serba tahu. Karena pembelajaran homeschooling dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Anak dapat belajar tentang sesuatu yang ingin diketahuinya dengan mencari tahu hal tersebut sendiri maupun dengan bantuan orang lain.
Dari pemaparan tentang dampak positif dari pendidikan alternatif homeschooling, tentunya terdapat pula dampak negatif yang ditimbulkannya. Contohnya seperti, peserta didik dari homeschooling ini harus memiliki komitmen yang kuat antara siswa dengan pendidik tentang apa yang akan dipelajarinya, waktu-waktu dalam pembelajaran kapan saja, sarana-sarana apa yang ingin disediakan, situasi apa yang diinginkan, metode seperti apa yang disenangi peserta didik, peran orang tua yang sangat dominan membuat anak memiliki kemampuan terbatas dalam menyelesaikan permasalahan sosialnya dan yang masih menjadi pertanyaan serta menjadi hal menarik untuk penyusun kaji lebih mendalam mengenai kekurangan yang menonjol yaitu bagaimana proses sosialisasi anak terhadap lingkungan sosial dengan kebudayaannya serta temen sebayanya. Seperti kita tahu bahwa anak yang bersekolah di rumah hanya berkomunikasi dengan sebagian orang serta kurangnya anak bersosialisasi dengan teman sebayanya membuat kita ingin mengetahui apakah anak dengan pendidikan homeschooling dalam bersosialisasi dengan mudah terhadap lingkungannya di masyarakat ? Apakah anak tersebut bisa menjalin kerjasama (teamwork) dalam dunia kerja setelah ia lulus ?

Sosialisasi
Jika kita berbicara tentang sosialisasi, menurut pandangan Kimball Young, sosialisasi adalah hubungan interaktif yang degannya seseorang belajar mempelajari keperluan sosial dan kultural, yang menjadikan seseorang sebagai anggota masyarakat.
Sosialisasi dalam arti sempit merupakan proses bayi atau anak menempatkan darinya dengan cara/ragam budaya masyarakatnya (tuntutan-tuntutan sosio-kultural keluarga dan kelompok lainnya). Sementara itu dalam bukunya, Nasution memberikan penjelasan tentang sosialisasi. Sosialisasi dikaitkan dengan mendidik individu tentang kebudayaan yang harus dimiliki dan diikutinya agar ia menjadi anggota yang baik dalam masyarakat dan dalam berbagai kelompok khusus. Sosialisasi adalah proses belajar, individu belajar bertingkah laku, kebiasaan, serta pola-pola kebudayaan lainnya juga keterampilan-keterampilan sosial seperti berbahasa, bergaul, berpakaian, cara makan, dan sebagainya.
Sosialisasi adalah sesuatu yang terjadi pada manusia, nilai-nilai diinternalisasikan, perilaku diubah sementara anak memberikan respons kepada tekanan-tekanan yang diberikan kepada dirinya tersebut.[5]
Segala sesuatu yang dipelajari individu harus dipelajari dari anggota masyarakat lain, secara sadar apa yang diajarkan oleh orangtua, saudara-saudara, anggota keluarga lainnya, dan di sekolah kebanyakan oleh gurunya. Dengan tak sadar ia belajar dengan mendapatkan informasi secara insidental dalam berbagai situasi sambil mengamati kelakuan orang lain, membaca buku, menonton televisi, mendengarkan percakapan orang lain, atau menyerap kebiasaan-kebiasaan dalam lingkungannya.
Sosialisasi tercapai melalu komunikasi dengan anggota masyarakat lainnya. Pola kelakuan yang diharapkan dari anak terus menerus disampaikan dalam segala situasi tempat ia terlibat. Kelakuan yang tak sesuai dikesampingkan karena menimbulkan konflik dengan lingkungan, sedangkan kelakuan yang sesuai dengan norma yang diharapkan dimantapkan.[6]
Dan mengutip pengertian sosialisasi dari wikipedia, sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan dan nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer terjadi dalam keluarga, sedangkan sosialisasi sekunder terjadi apabila individu terjun ke masyarakat. Peter L. Beger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat,  yang dalam hal ini adalah keluarga. Adapun sosialisasi sekunder adalah ketika individu tersebut mulai keluar dan membaur ke masyarakat yang lebih luas. Biasanya sosialisasi sekunder dimulai ketika seorang anak memasuki masa sekolah.
Berdasarkan rentang usia di dalam sebuah kelompok masyarakat, ada dua model sosialisasi yang biasanya dikenal, yaitu sosialisasi horizontal (seumur) dan sosialisasi vertikal (lintas umur). Pergaulan di sekolah merupakan contoh paling jelas mengenai model sosialisasi horizontal. Sementara itu, anak-anak yang dididik dalam homeschooling memiliki model sosialisasi yang berbeda. Anak-anak homeschooling memiliki sosialisasi vertikal (lintas umur).[7]
Setelah kita mengetahui jenis sosialisasi, maka kita tentu bertanya-tanya bagaimana dengan sosialisasi sekunder untuk anak yang dididik dengan pendidikan alternatif homeschooling ini, jika kita kaji berdasarkan teori sosialisasi Berger dan Luckmann, sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama kali dialami individu. Pada sosialisasi primer ini, seorang anak akan bersosialisasi dengan orang-orang yang lebih tua. Seorang bayi yang baru lahir akan bersosialisasi dengan orang tuanya, kakaknya, kakek dan neneknya. Dia akan mulai bersosialisasi dengan teman-teman sebanyanya yang seumuran dan seangkatan (dan mungkin memiliki tanggal kelahiran sama) adalah ketika masuk sekolah. Selepas sekolah, ia akan kembali berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda generasi. Ketika memasuki dunia kerja, orang-orang yang ditemuinya bukanlah orang-orang yang sebaya, seangkatan, seumuran, apalagi sama tanggal lahirnya, tetapi orang-orang yang beda generasi. Ia akan bertemu dengan senior-senior yang sudah seumuran dengan kakaknya, om dan tantenya, bahkan orang tuanya, atau bahkan lebih tua dari orang tuanya. Bahkan di bangku kuliah pun orang sudah berinteraksi dengan orang-orang yang lintas generasi. Satu angkatan bisa beda tahun lulus, satu kelas pun bisa bareng senior atau junior. Sosialisasi yang dilakukan di sekolah hanya sekedar sosialisasi horizonal yang dilakukan dengan seumuran atau sebaya, sedangkan dalam kehidupan nyata pendidikan homeschooling memiliki sosialisasi vertikal dimana anak akan lebih banyak berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang-orang yang berbeda latar belakang, umur dan generasi.
Banyak orang yang menganggap sekolah formal sebagai sarana bersosialisasi. Maka logikanya lulusan-lulusan sekolah formal akan tumbuh menjadi orang-orang yang pandai bergaul, banyak teman, banyak jaringan, pintar berkomunikasi dan menyampaikan pendapat. Namun pada kenyataannya, banyak anak-anak sekolah formal yang pendiam, pemalu, sulit berkomuniasi, bahkan kuper. Dapatlah kita katakan bahwa sosialisasi yang berlangsung di sekolah tidak menjadi seorang anak tumbuh menjadi orang pandai yang pintar bekomunikasi dengan orang lain.
Dengan model sosialisasi vertikal yang dijalani sehari-hari, keuntungan bagi anak-anak homeschooling adalah mereka tak membutuhkan penyesuaian ketika bersosialisasi dan terjun ke masyarakat. Anak-anak homeschooling relatif tak mengalami kesulitan dan tak membutuhkan proses penyesuaian (adjustment) untuk aktif di organisasi, lingkungan, atau tempat kerja karena lingkungan pergaulannya selama ini selalu lintas-umur.
Model sosialisasi lintas-umur yang menjadi karakteristik utama homeschooling tak berarti bahwa anak-anak homeschooling tidak bergaul dengan teman sebayanya. Ketika anak-anak homeschooling mulai tumbuh besar dan membutuhkan teman sebaya, orangtua biasanya mencari alternatif-alternatif untuk membuka jalur pertemanan sebaya bagi anaknya.
Pertemanan sebaya anak-anak homeschooling biasanya diperoleh dengan keterlibatan orangtua/anak pada kegiatan spiritual keagamaan yang dilakukan orangtua (pengajian, sekolah minggu, kelompok meditasi, dsb); melalui kursus-kursus yang diikuti anak, mengikuti klub hobi/minat, mengikuti kegiatan dalam komunitas homeschooling, dan kegiatan-kegiatan lain yang melibatkan anak sebaya.
Sosialisasi anak yang dilakukan dalam komunitas homeschooling yaitu perkumpulan setiap 2 kali dalam seminggu untuk belajar kelompok bersama teman sebaya dan para tutor. Disinilah terjadi sosialisasi dengan teman sebaya diantara anak homeschooling. Bukan hanya hal itu, di komunitas homeschooling biasanya mengadakan suatu praktek ke lapangan untuk mengkaji teori yang diberikan oleh tutornya dan secara otomatis anak-anak homeschooling mengadakan interaksi dengan masyarakat luar baik yang sebaya ataupun yang lebih tua darinya.
Dalam kajian sosiologi pendidikan, jika kita lihat dari salah satu tujuan sosiologi pendidikan yaitu menganalisis proses sosialisasi anak, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal ini harus diperhatikan pengaruh lingkungan dan kebudayaan masyarakat terhadap perkembangan pribadi anak.
Anak dalam hal ini adalah seorang manusia. Dimana di dalam diri manusia terdapat dua kepentingan, yaitu kepentingan individual dan kepentingan bersama. Kepentingan individual didasarkan manusia sebagai mahluk individu, karena pribadi manusia ingin memenuhi kebutuhan pribadi. Kepentingan bersama didasarkan manusia sebagai mahluk sosial (kelompok) yang ingin memenuhi kebutuhan bersama.
Manusia sebagai mahluk individu diartikan sebagai person atau perseorangan sebagai diri pribadi. Manusia sebagai diri pribadi merupakan mahluk yang diciptakan secara sempurna oleh Tuhan Yang Maha Esa. Disebutkan dalam Kitab Suci Alquran bahwa “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya”. Dalam ajaran agama-agama di dunia juga diterangkan sangat jelas kedudukan manusia sebagai mahluk yang mulia, karena itu tidak dibenarkan manusia melakukan perbuatan tercela. Sebaliknya, pribadi manusia dituntut mampu berinteraksi, berkomunikasi, bekerjasama, bersosialisasi, dan saling berlomba-lomba melalukan perubahan menuju yang lebih baik dengan individu lain.
Manusia sebagai mahluk sosial artinya manusia sebagai warga masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri untuk mencukupi kebutuhan sendiri. meskipun dia mempunyai kedudukan dan kakayaan, dia selalu membutuhkan bantuan manusia lain. Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Bahkan sejak lahir pun manusia sudah disebut sebagai mahluk sosial.[8]
Banyak faktor yang mendorong manusia secara individu membutuhkan dirinya sebagai mahluk sosial sehingga terbentuk interaksi sosial dan proses sosialisasi antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Secara garis besar faktor-faktor personal yang mempengaruhi interaksi manusia terdiri dari tiga hal yakni :
1.      Tekanan emosional
Kondisi psikologis seseorang sangat mempengaruhi bagaimana manusia berinteraksi satu sama lain, apakah sedang bahagia, senang, atau sebaliknya sedih, berduka, dan seterusnya.
2.      Harga diri yang rendah
Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi yang direndahkan, maka ia akan memiliki hasrat yang tinggi untuk berhubungan dengan orang lain. Karena ketika seseorang merasa direndahkan dengan secara spontan ia membutuhkan kasih sayang dari pihak lain atau dukungan moral untuk membentuk kondisi psikologis kembali seperti semula.
3.      Isolasi sosial
Orang yang merasa atau dengan sengaja terisolasi oleh komunitasnya atau pihak-pihak tertentu, maka ia akan berupaya melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar terbentuk sebuah interaksi yang harmonis.
Sesuai dengan kodratnya sebagai manusia yang memiliki kepentingan bersama, seorang anak pasti akan melakukan interaksi dan sosialisasi dengan orang lain di sekitarnya. Menurut pendapat penyusun, jika dikaitkan dengan faktor personal yang mempengaruhi manusia untuk berinteraksi, proses sosialisasi anak homeschooling dapat dilihat berdasarkan tekanan emosionalnya. Jika sedang dalam lingkungan keluaga, seorang anak homeschooling akan mengomunikasikan hal yang sedang ia rasakan kepala orangtuanya yang memang memiliki hubungan sangat erat. Tetapi jika ia berada dalam masyarakat, dengan adanya proses sosialisasi yang telah terbiasa ia lakukan di rumah serta faktor pendorong tekanan emosional mendorong anak untuk lebih aktif dalam mengemukakan pendapatnya, lebih inisiatif dan lebih komunikatif dalam mencetuskan apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Ia akan lebih semangat dalam mengemukakan gagasannya jika keadaan emosinya sedang dalam keadaan gembira.
Faktor kedua yaitu harga diri yang rendah, anak homeschooling cenderung dianggap kurang mampu bersosialisasi dan dianggap kuper oleh orang-orang atau bahkan teman sebayanya. Hal ini membuat anak homeschooling merasa harga dirinya direndahkan. Dengan perasaan tersebut maka anak homeschooling berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan sosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan dan kebudayaannya. Dia ingin menunjukan kepada lingkungan bahwa ia sanggup bersosialisasi dengan baik bahkan lebih baik dibandingkan dengan anak-anak sekolah formal. Karena dalam pendidikan homeschooling yang telah ia jalani tersebut memusatkan pada pendidikan dan pembentukan karakter, pengembangan bakat dan minat siswa dengan sistem pendidikan yang mandiri.
Seperti telah di jelaskan di atas, pendidikan homeschooling memusatkan pada pembentukan karakter. Karakter berasal dari kata Latin “kharakter”, dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character”, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia “karakter”. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses pengukiran atau pemahatan jiwa dengan sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Karakter antara satu dengan yang lainnya akan terlihat berbeda dan tidak ada yang sama.
Character building di negara-negara maju diterapkan dengan metode yang menyenangkan dan aplikatif, sedangkan di Indonesia penerapan pembelajaran Pancasila lebih pada pengetahuan daripada implementasi, murid-murid selalu dihadapkan pada pertanyaan dan hapalan kulit luar dari Pancasila, sedangkan substansinya hilang begitu saja seiring dengan bertumpuknya pengetahuan kognitif mata pelajaran yang ada di sekolah. character building sangat memungkinkan untuk dikembangkan melalui homeschooling karena karakteristik dan metode yang digunakan dalam proses pembelajarannya lebih komunikatif, serta tanggung jawab dari orang yang melaksanakan homeschooling itu sendiri, terutama jika orang tua terjun langsung dalam membelajarkan anak-anaknya.

Perspektif Teori Struktural Konflik
Di dalam sosiologi pendidikan terdapat sebuah teori yang berkaitan dengan homeschooling. Teori tersebut yaitu teori konflik. Teori ini lahir berdasarkan kepada rasa curiga pada tingkat nasional dan internasional, maka tidaklah mengherankan bahwa asumsi-asumsi fungsionalisme atau konsensualisme mulai dibenci, (Frank J. Miffle dan Sydney C. Miffle, 1985, 77).
Sebelum memahami tentang pengertian teori konflik, terlebih dahulu kita pahami tentang pengertian konflik. Koflik lebih dipahami sebagai keadaan tidak berfungsinya, komponen-komponen masyarakat sebagaimana mestinya atau gelaja penyakit dalam masyarakat yang terintegrasi secara tidak sempurna. Tetapi secara empiris konflik, tidak diakui karena orang lebih memilih stabilitas sebagai hakikat masyarakat. Konflik memang tidak mengubah sistem sosial itu sendiri, namun konflik menciptakan perubahan-perubahan di dalam sistem, dan konsekuensinya sistem itu bisa lebih efektif.[9]
Teori konflik adalah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen yang mempunyai kepetingan berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk menaklukan komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh kepentingan sebesar-besarnya.[10]
Gambaran mengenai teori konflik disajikan oleh Dahrendorf (dalam Katanto Sunarto, 2000:230) dalam asumsi-asumsi sebagai berikut:
a.       Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan, perubahan ada dimana-mana;
b.      Disensus dan konflik terdapat dimana-mana;
c.       Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan masyarakat;
d.      Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota yang lain.

Asumsi yang mendasari teori sosial non-marxian dahrendorf antara lain :
1.      Manusia sebagai mahluk sosial mempunyai andil bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial;
2.      Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan.
Fungsi konflik menurut Dahrendorf sebagai berikut :
1.      Membantu mmebersihkan suasana yang sedang kacau;
2.      Katub penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan;
3.      Energi-energi agresif dalam konflik realitas (berasal dari kekecewaan) dan konflik tidak realitas (berasal dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan), mungkin terakumulasi dalam proses ingteraksi lain sebelum ketegangan dalam situasi konflik diredakan;
4.      Konflik tidak selalu berakhir dengan rasa permusuhan;
5.      Konflik dapat dipakai sebagai indikator kekuatan dan stabilitas suatu hubungan;
6.      Konflik dengan berbagai outgroup dapat memperkuat kohesi internal suatu kelompok.
Dahrendorf adalah tokoh utama teori konflik menganggap “wewenang” dan “posisi” sebagai konsep sentral teorinya. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistemis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Dahrendorf menganalisis konflik dengan mengidentifikasikan berbagai peranan dan kekuasaan dalam masyarakat. Danrendorf mengatakan bahwa kekuasaan dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan, karena mereka yang memegangnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo. Dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang bertentangan yaitu antara penguasa dan yang dikuasai. Pertentangan terjadi karena golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo, sedangkan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan kepentingan selalu ada di setiap waktu dan dalam setiap struktur.
Teori konflik Dahrendrof adalah mata rantai untuk antara konflik dan perubahan sosial. Konflik memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Karena dalam situasi konflik golongan yang terlibat konflik melakukan tindakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konfliknya hebat, maka yang terjadi adalah perubahan secara radikal. Bila konfliknya disertai kekerasan, maka perubahan struktur akan efektif. Dahrendorf melihat masyarakat selalu dalam kondisi konflik dengan mengabaikan norma-norma dan nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat.
Dahrendorf melihat bahwa kepentingan yang dikaitkan dengan peran-peran didefinisikan sebagai peran-peran yang diharapkan. Hal itu bukanlah kepentingan material. Peran yang dimaksud Dahrendorf berbeda dengan kepentingan peran Lockwood dan pengertian Marx. Jadi setiap peran memiliki harapan yang bertentangan yang dikaitkan dengannya. Suatu peran yang mengandung kekuasaan membawa harapan bahwa kesesuaian itu dilaksanakan untuk keuntungan organisasi sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Dahrendorf menjelaskan, apa yang terjadi sangat tergantung pada pilihan orang yang melakukan peran. Penjelasan Dahrendorf sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Weingart, yaitu tentang voluntarisme suatu ide bahwa keteraturan sosial, peraturan-peraturan dalam kehidupan sosial tergantung pada pilihan individu.
Dahrendorf melihat masyarakat berdimensi ganda, memiliki sisi konflik sekaligus sisi kerja sama, sehingga segala sesuatunya dapat dianalisis dengan fungsionalisme struktural dan dapat pula dengan konflik.
Asumsi teoretis struktural konflik :
a.       Masyarakat terbentuk atas dasar konflik kepentingan
b.      Dorongan anggota-anggota masyarakat menghasilkan perubahan
c.       Hubungan antarwarga masyarakat bersifat devisive
d.      Ciri oposisi lebih menonjol dalam hubungan sosial
e.       Konflik struktural menjadi bagian dari perubahan sosial dalam masyarakat
f.       Masyarakat juga ditandai oleh diferensiasi sosial yang semakin berkembang
g.      Sosial disorder menyebabkan masyarakat menjadi dinamis.[11]

Para penganut teori konflik dalam sosiologi pendidikan yaitu Bowles, Gintis, Louis, Althusser, Pierre Bourdieu, Paulo Freire, dan Ivan Illich. Akan tetapi pendapat yang mendekati mengenai masalah homeschooling adalah Ivan Illich.
Pendapat yang paling ekstrim penganut teori konflik adalah Ivan Illich, Deschooling Society (1972) atau “Bebas dari Sekolah”. Dikatakan Ivan Illich bahwa sekolah adalah tempat anak-anak ditekan dan dipaksa untuk memperlajari hal-hal yang tidak mereka kehendaki atau senangi, padahal belajar yang baik adalah yang berlangsung dalam suasana bebas yang memungkinkan pelajar sendiri memilih pelajaran yang disukai.
Dari teori konflik tersebut penyusun dapat menyimpulkan bahwa pendidikan homeschooling tidak salah untuk dilakukan. Alasan orangtua menyekolahkan anaknya di pendidikan homeschooling dalam kajian teori sosiologi pendidikan di dukung atau dapat terima, karena memang masyarakat tersebut dituntut untuk dapat menerima perubahan-perubahan yang ada dengan masalah yang ada pula. Masalah yang dihadapi seperti telah dijelaskan di atas tentang bagaimana kegagalan sekolah formal dalam menjalankan fungsiya sebagai lembaga pendidikan yang dianggap sebagai suatu masalah besar yang dihadapi. Masalah ini membuat seseorang mengadakan suatu perubahan dan menuntut orang lain dapat menerima perubahan yang dilakukan tersebut. Dengan melakukan perubahan dari pengambilan keputusan menyekolahkan anak  ke homeschooling dianggap dapat memenuhi  pencapaian tujuan pendidikan.
Perspektif struktural teori konflik menghendaki adanya perkembangan diferensiasi sosial masyarakat dan kedinamisan masyarakat dalam proses sosialnya. Kebanyakan orang mengganggap bahwa pendidikan alternetif homeschooling tidak dapat menjadikan atau hanya menghasilkan seorang anak yang susah bergaul dan bersosialisasi dengan lingkungannya dengan baik karena memang sosialisasi sekunder salah satunya dilakukan di lingkungan sekolah pada saat seorang anak tersebut duduk di bangku sekolah. Namun pada kenyataannya anak pendidikan alternatif homeschooling dapat bersosialisasi dengan baik bahkan dapat bersaing atau lebih baik dalam melakukan segala hal dibandingkan dengan anak pendidikan formal. Disini yang menjadi konflik bahwa sebagian masyarakat masih menganggap bahwa homeschooling tidaklah menguntungkan, tetapi sebagian lainnya lebih menganggap bahwa homeschoolinglah pendidikan yang paling baik untuk memberikan pendidikan anak yang lebih dekat dengan keluarga dengan pendidikan karakter, minat dan bakat. Perbedaan pandangan tersebut memunculkan suatu konflik di dalam masyarakat itu sendiri. keberhasilan anak homeschooling dalam bersosialisasi di masyarakat tersebut memberikan pemecahan dari konflik perbedaan pandangan masyarakat yang terjadi. Pendidikan homeschooling telah merubah pandangan masyarakat dan menuntut masyarakat untuk menerima perubahan dan menerima segala perkembangan diferensiasi sosial yang ada di masyarakat tersebut. Jelaslah bahwa konflik yang terjadi mengenai masalah perbedaan pandangan masyarakat bahwa anak didikan pendidikan homeschooling tidaklah mudah untuk bersosialisasi dengan lingkungan dimasyarakatnya dapatlah dipecahkan.
Dengan adanya perbedaan mendidik anak yang dipilih orang tua dan perbedaan tersebut dianggaplah sebagai suatu konflik tidaklah benar. Penyusun berpendapat, bahwa dengan adanya perbedaan pemilihan pendidikan tersebut dapatlah semakin menambah suatu pengalaman dan wawasan serta pengetahuan yang lebih mengenai suatu perubahan yang ada serta menuntut dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memahami terlebih dahulu dengan cara melihat kualitas output dari pendidikan alternatif tersebut untuk dapat menjawab bahwa anak pendidikan alternatif homeschooling dapat bersosialisasi dengan lingkungannya di masyarakat dengan baik sesuai norma, kebiasaan, dan kebudayaan serta karakter masyarakat dan bangsanya.




E.     Masa Depan Anak Homeschooling

Memelihara kemerdekaan anak dan mengasah mereka berjiwa mandiri, tantangan tersulit seorang pendidik. Hampir seluruh anak indonesia tumbuh dengan rutinitas tanpa daya kejut dengan menu wajib berupa tumpukan tugas bernama pekerjaan rumah, dilengkapi ketentuan seragam, buku paket wajib, dan lulus ujian nasional.
Akibatnya, kreativitas berpikir anak-anak indonesia pun jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata berpikir dari negara tetangga sekalipun. Kebijakan ujian nasional yang kontroversional sebagai penentu kelulusan dan penyelenggaraan kelas internasional, kelas akselerasi, kelas unggulan di sekolah-sekolah negeri yang difavoritkan masyarakat, menunjukan reendahnya komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu. Mengejar ketrtinggalan dengan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan yang diskriminatif ini apalagi dengan biaya selangit yang dibebankan kepada orangtua siswa adalah tindakan yang salah.
Seharusnya pemerintah menjamin pelayanan pendidikan dan prinsip penyelenggaraan pendidikan seperti yang disebutkan dalam UU Nomer 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, khususnya pasal 4. Bahwa (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; (2) pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan multimakna; (3) pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; (4) pendidikan diselenggarakan dengan memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan pembangun kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Pendidikan anak bangsa tidak terjalin di ruang hampa, tetapi dalam realita perubahan sosial yang sangat dasyat. Pendidikan disekolah merupakan salah satu subsistem dari seluruh sistem pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah.
Pengakuan pemerintah terhadap komunitas sekolah rumah sebagai model pendidikan kesetaraan memperluas akses terhadap pendidikan bermutu untuk semua anak dan hanya ddapat tersedia geratis jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah membiayainya.
Fleksibelitas homeschooling memungkinkan setiap anak menjalani proses alamiah untuk menjadi anak mandiri dan bertanggung jawab. Jika sosialisasi diarahkan untuk mendidik anak menjadi dewasa, kekhawatiran yang berlebihan tentang sosialisasi pelaku homeschooling sangat tidak beralasan.
Menjadi tua adalah proses alamiah dan dewasa adalah sebuah pilihan sadar. Seorang dianggap dewasa saat menyadari peraturan, mampu bekerja sama, bahkan dengan orang yang belum dikenalnya
Homeschooling adalah pendidikan alternatif yang menjadi tempat untuk menelaah realitas yang terjadi. Secara personal individual, anak didampingi untuk mendalami suatu peristiwa. Mereka tidak hanya diajak bersimpati tetapi diarahkan untuk berempati. Sosialisasi seperti ini dijadikan sebagai pembelaan.
Meski demikian perlu disadari dunia yang retak lebih membutuhkan keterlibatan dan terutama keberanian untuk hidup bersama. Sejak dini anaksudah diakrabkan dengan realitas yang terbuka. Oleh karena itu pendidikan formal merupakan tempat anak menghadapi realitas yang sangat keras. Pertemuan anak dengan rekan lainnya yang meemiliki latar belakang beragam merupakan benturan kuat.
 Sekolah formal yang selama ini menjadi sasaran kritik, karena terlalu menekankan dimensi intelektual (itu pun secara parsial), perlu mengimbanginya dengan dimensi kelembutan kepribadian dan kesiapan motorik menghadapi dunia kerja.
Berdasarkan pada realitas yang ada, penyusun dapat menyimpulkan bahwa masa depan anak homeschooling memberikan suatu gambaran yang cerah tentang pekerjaan yang ada dalam lingkungan dan tidak jauh berbeda dengan kemampuan anak sekolah formal. Bahkan anak homeschooling akan lebih inisiatif dan lebih memiliki kemampuan dalam memberikan aspirasinya yang disertai dengan kemampuan dia dalam berkomunikasi dengan semua orang yang berada di lingkungan yang terdiri dari anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua.


         

BAB III

PENUTUP


A.    Simpulan

Homeschooling muncul atas filosofi John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail (1964) karena alasan ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal yang kemudian didukung Ray dan Dorothy Moor dengan melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun tidak efektif.
Belum ada penelitian khusus tentang akar perkembangan homeschooling di Indonesia. Saat ini perkembangannya dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka sehingga orang tua semakin memiliki banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.
Proses pembelajaran homeschooling menggunakan metode belajar mengajar tidak terbelenggu oleh dimensi ruang dan waktu secara formal. Guru hanya sebagai pembimbing dan mengarahkan minat siswa pada mata pelajaran yang diminati. Dalam hal ini siswalah yang menjadi subjek kurikulum bukan menjadi objek.
Kelebihan homeschooling adalah menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik serta menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja, narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama.
Kelemahan homeschooling antara lain membtuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan dan proteksi berlebihan dari orang tua.
Dari kajian teori struktural konflik menurut Dahrendorf serta penganut teori konflik sosiologi pendidikan yaitu Ivan Illich, beliau mengatakan secara ekstrim “Bebas dari Sekolah”. Dikatakan Ivan Illich bahwa sekolah adalah tempat anak-anak ditekan dan dipaksa untuk memperlajari hal-hal yang tidak mereka kehendaki atau senangi, padahal belajar yang baik adalah yang berlangsung dalam suasana bebas yang memungkinkan pelajar sendiri memilih pelajaran yang disukai.
Homeschooling memiliki peranan penting dalam mengembangkan pembelajaran yang memungkinkan pelajar memilih pelajaran yang disukai dengan pengembangan pendidikan karakter, bakat, dan minat serta sosialisasi dengan semua orang dengan jenjang usia yang berbeda untuk mencapai suatu keberhasilan sosialisasi anak di lingkungan masyarakatnya kelak.



DAFTAR PUSTAKA


Bachtiar, Wardi Sosiologi Klasik. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2006.
Rachman, Arief. Homeschooling Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku. Jakarta : Kompas Media Nusantara. 2007.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustaka. 2007.
Rifa’i, Muhammad. Sosiologi Pendidikan Struktur & Interaksi Sosial di Dalam Institusi Pendidikan. Jogjakarta : Ar-ruzz Media. 2011.
Tumanggor, Rusmin dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.  Jakarta : Kencana. 2012.
Wiraman, Ida Bagus. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Jakarta : Kencana. 2013.
Pormadi. Homeschooling. https://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling/ (diakses pada 02 April 2015)
Intisari Online. Homeschooling 4 Sosialisasi. http://www.intisari-online.com/read/faq-homeschooling-4-sosialisasi (diakses pada 02 April 2015)




[1] Arief Rachman, Homeschooling Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku, (Jakarta : Kompas Media Nusantara), 2007, hal : 18
[2] Ibid
[4] Op.Cit hal : 12
[5] Philip Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : Rajawali), 1986, hal :64
[6] Muhammad Rifa’i, Sosiologi Pendidikan Struktur & Interaksi Sosial di Dalam Institusi Pendidikan, (Jogjakarta : Ar-ruzz Media), 2011,  hal : 47
[7] Intisari Online, Homeschooling 4 Sosialisasi, http://www.intisari-online.com/read/faq-homeschooling-4-sosialisasi

[8] Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta : Kencana), 2012, hal : 55
[9] Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, (Bandung : Remaja Rosdakarya), 2006, hal : 107
[10] Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta : Prestasi Pustaka), 2007, hal : 71
[11] Ida Bagus Wiraman, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, (Jakarta : Kencana), 2013, hal : 91

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Ratna Sari Maulana's All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.