0
EMOSI
Posted by Unknown
on
12:52 AM
A.
Pengertian
Emosi
Secara etimologis emosi berasal dari kata
Prancis emotion, yang berasal lagi dari emouvoir, ‘exicte’ yang berdasarkan
kata Latin emovere, artinya keluar. Dengan demikian secara etimologis emosi
berati “bergerak keluar”.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa emosi adalah suatu
keadaan kejiwaan yang mewarnai tingkah laku. Emosi juga diartikan sebagai suatu
reaksi psikologis dalam bentuk tingkah laku gembira, bahagia, sedih, berani,
takut, marah, muak, haru, cinta, dan sejenisnya. Biasanya
emosi muncul dalam bentuk luapan perasaan dan surut dalam waktu yang singkat.
Hathersall (1985) merumuskan pengertian emosi sebagai suatu psikologis yang
merupakan pengalaman subyektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh.
Misalnya seorang remaja yang sedang marah memperlihatkan muka merah, wajah
seram, dan postur tubuh menegang, bertingkah laku menendang atau menyerang,
serta jantung berdenyut cepat.
Selanjutnya Keleinginna and Keleinginan (1981)
berpendapat bahwa emosi seringkali berhubungan dengan tujuan tingkah laku.
Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), misalnya
pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah, takut
bahagia, sedih dan jijik.
Emosi merupakan perpaduan dari beberapa perasaan yang mempunyai itensitas yang relatif tinggi, dan menimbulkan suatu gejolaksuasana batin, suatu stirred up or aroused state of the human organization.[1]
Dari berbagai pengertian emosi di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa emosi merupakan reaksi psikologi seseorang dalam bertindak
atau melakukan suatu tindakan, misalnya menangis, marah, benci, takut, sedih,
haru, cinta, muak, bahagia dan lain-lain.
A.
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Emosi
1.
Faktor
Internal
Umumnya emosi seseorang muncul berkaitan erat
dengan apa yang dirasakan seseorang secara individu. Mereka merasa tidak puas,
benci terhadap diri sendiri dan tidak bahagia. Adapun gangguan emosi yang
mereka alami antara lain adalah:
1.
Merasa
tidak terpenuhi kebutuhan fisik mereka secara layak sehingga timbul
ketidakpuasan, kecemasan dan kebencian terhadap apa yang mereka alami.
2.
Merasa
dibenci, disia-siakan, tidak mengerti dan tidak diterima oleh siapapun termasuk
orang tua mereka.
3.
Merasa
lebih banyak dirintangi, dibantah, dihina serta dipatahkan dari pada disokong,
disayangi dan ditanggapi, khususnya ide-ide mereka.
4.
Merasa
tidak mampu atau bodoh.
5.
Merasa
tidak menyenangi kehidupan keluarga mereka yang tidak harmonis seperti sering
bertengkar, kasar, pemarah, cerewet dan bercerai.
6.
Merasa
menderita karena iri terhadap saudara karena disikapi dan dibedakan secara
tidak adil.
2.
Faktor
eksternal
Menurut Hurlock (1980) dan Cole (1963) faktor yang
mempengaruhi emosi adalah :
1.
Orang
tua atau guru memperlakukan mereka seperti anak kecil yang membuat harga diri
mereka dilecehkan.
2.
Apabila
dirintangi, anak membina keakraban dengan lawan jenis.
3.
Terlalu
banyak dirintangi dari pada disokong, misalnya mereka lebih banyak disalahkan,
dikritik oleh orang tua atau guru, akan cenderung menjadi marah dan
mengekspresikannya dengan cara menentang keinginan orang tua, mencaci maki
guru, atau masuk geng dan bertindak merusak (destruktif).
4.
Disikapi
secara tidak adil oleh orang tua, misalnya dengan cara membandingkan dengan
saudaranya yang lebih berprestasi dan lainnya.
5.
Merasa
kebutuhan tidak dipenuhi oleh orang tua padahal orang tua mampu.
6.
Merasa
disikapi secara otoriter, seperti dituntut untuk patuh, banyak dicela, dihukum
dan dihina.
B.
Perkembangan Niai, Moral dan Sikap
Nilai
(value) merupakan rujukan dan
keyakinan dalam menentukan pilihan, ukuran untuk menentukan apakah sesuatu itu
baik atau buruk. Nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang,
adat kebiasaan, aturan agama, dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan
dirasakan berharga bagi seseorang dalam menjalani kehidupannya.
Nilai-nilai kehidupan adalah
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan
santun (Sutikna, 1988 : 5). Sopan santun, adat, dan kebiasaan serta nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan
seseorang dalam kedudukannya sebagai warga negara Indonesia dalam hubungan
hidupnya dengan negara serta dengan sesama warga negara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila yang termasuk dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, antara
lain:
1.
Mengakui persamaan derajat,
persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
2.
Mengembangkan sikap tenggang
rasa.
3.
Tidak semana-mena terhadap orang
lain, berani membela kebenaran dan keadilan, dan sebagainya.
Moral adalah ajaran tentang baik
buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwodarminto,
1957 : 957). Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu
dilakukan, dan sesuatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari.
Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar
dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Sikap adalah keseluruhan dari
kecenderungan dan perasaan, pemahaman, gagasan, rasa takut, perasaan terancam
dan keyakinan-keyakinan tentang suatu hal. Sikap adalah kesiapan seseorang
untuk memperlakukan sesuatu objek. Dengan kata lain bahwa sikap itu adalah
kecenderungan bertindak pada seseorang.
Sikap berkaitan dengan motif dan
mendasari tingkah laku seseorang, dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat
terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan
suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan (predisposisi)
tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
Menurut Danel
Suasanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya ditandai
oleh beberapa perubahan-perubahan seperti dibawah ini :
1. perubahan Fisik
Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat
dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi
seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan berfungsu. Disamping itu
tanda-tanda seksual sekunder telah mulai nampak pada diri remaja.
2. perubahan intelek
Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean
Piaget, seorang remaja telah beralih dari
masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa
konkrit-operasional, seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau
obyek-obyek yang bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah
mampu berpikir se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan
hipotetis. Pada masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.
3.
Perubahan emosi
Pada umumnya remaja bersifat
emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang
dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh
perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun
penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh,
Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap
per-ubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan
pengaruh hormonal.
4. Perubahan sosial
Pada
masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi
anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat
sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan
bersikap dan bertingkahlaku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang
cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman sebaya’. Kelompok
so-sial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok
ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh
keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok
remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja
untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan
sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka
menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting’ dan energi
mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.
5. Perubahan moral
Pada
masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari
dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi
prinsip moral umum pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah
dapat diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi
tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja, seseorang juga
mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh
kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak
terlalu merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa remaja
berakhir.
Menurut
teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama
pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg
mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan
Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan
wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi
serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral.
Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita
ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk
menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang
menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral.
Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah?
Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang
diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain.
Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat
perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya
teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku
yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara
internal.
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :
Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran
Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan
moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi
nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan
hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain
(eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku
yang buruk mendapatkan hukuman.
Tahap I.
Orientasi hukuman dan ketaatan.
Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini
penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa
menuntut mereka untuk taat
Tahap
II. Individualisme dan tujuan
Pada
tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan
sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk
kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik
dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
Tingkat
Dua : Penalaran Konvensional
Penalaran
Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana
seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka
tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau
aturan-aturan masyarakat.
Tahap III. Norma-norma Interpersonal
Yaitu dimana seseorang menghargai kebenaran,
keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan
pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang
tuanya sebagai yang terbaik.
Tahap IV Moralitas Sistem Sosial
Yaitu dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas
pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat
Tiga : Penalaran Pascakonvensional
Yaitu Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas
benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang
lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki
pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
Tahap V.
Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Yaitu
nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat
berbeda dari satu orang ke orang lain.
Tahap
VI. Prinsip-prinsip Etis Universal
Yaitu
seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak
manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum
dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati.
Pada
perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan
diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia sebelum
9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung
pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional.
Demikian hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum.
Ketika
kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari sisi pendidikan
pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan sekolah maka terdapat 3
tingkat dan 6 tahap yaitu :
Tingkat
Satu : Moralitas Prakonvensional
Yaitu :
ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana mulai dari usia 4-10
tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum
menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada
tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 1.
Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Adalah
penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena
orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat
memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak
menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan
tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran dari
hukuman.
Tahap 2.
Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.
Yang
bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan
sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Tingkat
Dua : Moralitas Konvensional
Yaitu
ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana pada usia
10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada
Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 3.
Memperhatikan Citra Anak yang Baik
Maksudnya
: anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar dapat
memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
Semua
perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan
kesadaran terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan
anak.
Pada
tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma Interpernasional ialah : dimana
seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain
sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi
standar-standar moral orang tuanya sambil mengharapkan dihargai oleh orang
tuanya sebagi seorang anak yang baik.
Tahap 4.
Memperhatikan Hukum dan Peraturan.
Anak dan remaja memiliki
sikap yang pasti terhadap wewenang dan aturan.Hukum harus ditaati oleh semua
orang.
Tingkat Tiga : Moralitas Pascakonvensional
Yaitu ketika manusia telah
memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke
atas yang memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam
artian disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah
nilai yang harus dipakai dalam segala situasi.
Pada
perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 5.
Memperhatikan Hak Perseorangan.
Maksudnya
dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan dewasa mengartikan
perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan sosial.
Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.. Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.. Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Tahap 6.
Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika.
Maksudnya : Keputusan
mengenai perilaku-pwerilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral,
pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum
dan kepentingan orang lain.Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai
tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk
menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh
jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan
bahwa melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih
tinggi daripada mencuri itu sendiri.
Perkembangan moral seorang anak banyak
dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari
lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal
nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam
mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada
waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan perkembangan moral anak, antara lain:
1.
Konsisten
dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan
yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak.
Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus
juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
2.
Sikap
orangtua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap
anak, sikap ayah terhadap ibu ataupun sebaliknya, dapat mempengaruhi
perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap
orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada
anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung
mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada
diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih
sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten.
3.
Penghayatan
dan pengamalan agama yang dianut
Orang tua
merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk panutan dalam mengamalkan
ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religius (agamis), dengan
cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak,
maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.
4.
Sikap
konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orang tua yang
tidak menghendaki anaknya berbohong atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus
menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua
tidak mengajarkan kepada anak agar berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan,
bertanggung jawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan
perilaku yang sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan
akan menggunakan ketidak konsistenan orangtua itu sebagai alasan untuk tidak
melakukan apa yang diinginkan oleh orangtuanya, bahkan mungkin dia akan
berperilaku seperti orangtuanya.[2]
Tahap-tahap perkembangan moral pada remaja
telah mencapai pada tahap moralitas hasil interaksi yang seimbang yaitu secara
bertahap anak mengadakan internalisasi nilai moral dari orangtuanya dan
orang-orang dewasa di sekitarnya. Pada akhir masa remaja terdapat lima
perubahan yang dapat dilukiskan sebagai berikut:
1. Pandangan
moral remaja mulai menjadi abstrak, menifestasi dari ciri ini adalah prilaku
remaja yang suka saling bernasihat sesama teman dan kesukaannya pada kata-kata
mutiara.
2. Pandangan
moral remaja sering terpusat pada apa yang benar dan apa yang salah. Sehingga
remaja sangat antusias pada usaha-usaha reformasi sosial.
3. Penilaian
moral pada remaja semakin mendasarkan diri pada pertimbangan kognitif, yang
mendorong remaja mulai menganalisis etika sosial dan mengambil keputusan kritis
terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4. Penilaian
moral yang dilakukan remaja menunjukkan perubahan yang bergerak dari sifat
egosentris menjadi sosiosentris, sehingga remaja senang sekali bila dilibatkan
dalam kegiatan memperjuangkan nasib sesama, kesetiakawanan kelompok yang
kadang-kadang untuk ini remaja bersedia berkorban fisik.
5. Penilaian
moral secara psikis juga berkembang menjadi lebih mendealam yang dapat
merupakan sumber emosi dan menimbulkan ketegangan-ketegangan psikologis.
Sehingga pada akhir masa remaja moral yang dianutnya diharapkan menjadi
kenyataan hidup dan menjadi barang berharga dalam hidupnya.
Apa yang
terjadi dalam diri pribadi seseorang hanya dapat didekati melalui cara-cara
tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang
tersebut, maupun membandingkannya dengan gejala sertra tingkah laku orang lain.
Diantara proses kejiwaan yang sulit untuk dipahami adalah proses terjadinya dan
terjelmanya nilai-nilai hidup dalam diri individu, yang mungkin didahului oleh
pengenalan nilai secara intelektual,disusul oleh penhayatan nilai tersebut, dan
kemudian tumbuh didalam diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh
jalan pikiran, tingkah lakunya serta sikapnya terhadap segala sesuatu di luar
dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai oleh nilai tersebut.
Karena
itu, ada kemungkinan bahwa ada individu yang tahu tentang sesuatu nilai tetap
menjadi pengetahuan. Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral
seperti yang diharapkan, maka kita dihadapkan dengan masalah pembinaan. Adapun
upaya-upaya yang dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral dan sikap remaja
adalah:
1.
Menciptakan Komunikasi
Dalam
komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral.
Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus
bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak
harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya yang
mengikutsertakan remaja dalam pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan
keluarga. Sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara
aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.
Disekolah
para remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan
aspek moral, misalnya dalam kerja kelompok,sehingga dia belajar untuk tidak
melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain karena hal ini tidak sesuai
dengan nilai atau norma moral.
2.
Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Seseorang
yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki
sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup tersebut umunya adalah
seseorang yang hidup dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen
yang senantiasa mendukung bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai
hidup tersebut. Ini berarti antara lain, bahwa usaha pengembangan tingkah laku
nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan
intelektual semata, tetapi mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif dimana
factor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari
nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan factor yang cukup luas
dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan
sosial terdekat terutama mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan Pembina
yaitu orang tua dan guru.[3]
DAFTAR PUSTAKA
http://kimmyaulia.blogspot.com/2014/03/perkembangan-nilai-moral-dan-sikap.html
http://evayuliawati.blogspot.com/2013/03/makalah-perkembangan-moral.html
http://www.anekamakalah.com/2012/07/perkembangan-nilai-moral-dan-sikap.html
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya),
Jum’atun
Nikmah, 2012, PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP, https://jumatunnikmah.wordpress.com/2012/06/02/perkembangan-nilai-moral-dan-sikap/, diakses tgl 10 Mei 2015, jam 15.50
Nana Syaodih Sukmadinata, Landsan
Psikologi Psoses Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya,Bandung:2011
[1] Nana Syaodih Sukmadinata,
Landsan Psikologi Psoses Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya,Bandung:2011
hlm 80
[2] Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung :
PT Remaja Rosdakarya), 2013. Hlm. 133-134.