0
KETERAMPILAN PENGELOLAAN AGRESIVITAS
Posted by Unknown
on
5:45 AM
KETERAMPILAN PENGELOLAAN AGRESIVITAS
Disusun
sebagai tugas mata kuliah “Manajemen Bimbingan Konseling dan
Kesiswaan”
Disusun
oleh :
Ratna
Sari
(11140182000026)
Manajemen
Pendidikan
Fakultas
Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2015
KETERAMPILAN
PENGELOLAAN AGRESIVITAS
A. Landasan Teori
Dikisahkan dalam kitab-kitab suci bahwa awalnya dunia tidak
mengenal kekerasan. Sampai pada suatu ketika kedua anak dari Nabi Adam berselisih
paham. Perselisihan ini berlanjut hingga terjadilah peristiwa pembunuhan Habil
oleh Saudaranya yaitu Qobil. Walau kisah ini tidak alamiah, setidaknya hal ini
merupakan catatan tertua dalam sejarah kekerasan manusia.
Kasus pembuka dan kisah Habil dan Qobil menunjukkan terjadinya
sebuah agresivitas, sebuah tindakan yang merugikan bahkan sampai menghilangkan
nyawa manusia. Perilaku agresif merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh
seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja.[1]
Menurut KBBI, perilaku agresif adalah kecenderungan (ingin) menyerang kepada
sesuatu yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau
menghambat
Agresivitas adalah suatu kecenderungan untuk melakukan tindakan
yang dimaksudkan untuk melukai orang lain baik secara fisik maupun non fisik
dan mental. Aspek agresivitas menurut Buss dan Perry (1992) yaitu agresi fisik,
agresi verbal, kemarahan dan permusuhan. Agresi fisik adalah agresi yang
dilakukan untuk melukai, menyakiti dan murugikan orang lain secara fisik. Hal
ini termasuk memukul, menendang, berkelahi, dan membanting sesuatu. Agresi
fisik merupakan komponen instrumental atau motor perilaku.
Agresi verbal yaitu agresi yang dilakukan untuk menyakiti, melukai
atau merugikan orang lain secara verbal. Hal ini termasuk menghina orang,
mengejek, mencaci maki, membentak dan mengumpat. Agresi verbal merupakan
komponen instrumental atau motor perilaku.
Kemarahan merupakan perasaan marah terhadap seseorang atau sesuatu
yang menjadi penyebab rasa sakit hati. Kemarahan yang melibatkan gairah
fisiologis dan persiapan untuk agresi merupakan komponen emosional atau afektif
perilaku. Kemarahan adalah jembatan antara agresi fisik, agresi verbal dan
permusuhan. Kemarahan sering merupakan pendahuluan untuk perilaku agresif.
Orang lebih cenderung untuk agresif saat marah daripada ketika tidak marah.
Permusuhan yaitu sikap yang negatif terhadap orang lain yang muncul
karena perasaan tertentu seperti cemburu dan dengki. Permusuhan yang terdiri
dari perasaan sakit hati dan ketidakadilan merupakan komponen koginitif
perilaku. Permusuhan merupakan gabungan kebencian dan kecurigaan. Faktor-faktor
agresivitas menurut Diana (2007) adalah faktor biologis, faktor belajar atau
pengaruh lingkungan sosial, faktor kognisi, faktor amarah, dan faktor frustasi.[2]
Freud sebagai salah satu tokoh psikoanalisis melihat bahwa
sejatinya manusia mempunyai dua insting dasar. Pertama insting hidup (eros) dan
kedua adalah insting mati (thanatos/death instinct). Insting mati ini yang
membawa manusia pada dorongan agresif karena insting ini bawaan dan bagian dari
kepribadian yang menjadi salah satu penyebab agresivitas.
B. Hakekat Agresivitas dan Keterampilan Mengelola Agresivitas
Pada hakekatnya perilaku agresif adalah perilaku seseorang yang
diwujudkan dalam tindakan penyerangan secara fisik maupun non fisik terhadap
orang lain yang dapat membahayakan atau mencederai orang lain. Perilaku agresif
juga dapat disebut sikap yang bermusuhan yang ada pada diri manusia. Hal ini
berarti bahwa tindakan atau perilaku menyakiti orang lain baik secara fisik
maupun non fisik dan sosial dapat diindikasikan sebagai bentuk tindakan
perilaku agresif.
Setiap hari di media elektronik maupun cetak kerap memberitakan
berbagai kisah tentang pembunuhan, penganiayaan, dan penyiksaan. Kondisi korban
yang diberikatakan pun bervariasi. Ada yang meninggal dengan tubuh
terpotong-potong, anggota tubuh yang hilang, dan cacat seumur hidup. Hal ini
membuktikan bahwa perilaku agresif terjadi saat ini menunjukan peningkatan
kualitas, tak hanya sekedar menyakiti dan melukai tetapi menghilangkan nyawa
korbannya.
Pemicu yang umum dari agresif adalah ketika seseorang mengalami
satu kondisi emosi tertentu, yang sering terlihat adalah emosi marah. Perasaan
marah berlanjut pada keinginan untuk melampiaskannya dalam satu bentuk tertentu
pada objek tertentu. Marah adalah sebuah pernyataan yang disimpulkan dari
perasaan yang ditunjukan yang sering disertai dengan konflik atau frustasi.
Selain faktor tersebut di atas, faktor lain yang tidak kalah
penting yang menyebabkan sikap agresivitas adalah peran media, baik media cetak
maupun media elektronik yang juga sering menyajikan berita mengenai perilaku
agresif ini. Belum lagi tayangan televisi yang menyuguhkan kekerasan. Tayangan
seperti ini menimbulkan rangsangan dan memungkinkan individu yang melihatnya,
terlebih mereka yang berusia muda, meniru model kekerasan seperti itu. Ada
penularan perilaku yang disebabkan oleh seringnya seseorang melihat tayangan
perilaku agresif melalui televisi atau membaca surat kabar yang memuat hasil
pelaku agresif, seperti pembunuhan, tawuran di kalangan pelajar, dan
penganiayaan.
a.
Kondisi Sosial
Frustasi, terhambatnya atau tercegahnya upaya mencapai tujuan kerap
menjadi penyebab perilaku agresif. Ketika seorang calon legislatif (caleg)
gagal, ia akan merasa sedih, marah, dan bahkan depresi. Dalam keadaan seperti
ini, besar kemungkinan ia akan menjadi frustasi dan mengambil tindakan-tindakan
yang bernuansa agresi seperti penyerangan terhadap orang lain.
Provokasi verbal atau fisik adalah salah satu penyebab perilaku
agresif. Manusia cenderung untuk membalas dengan derajat agresi yang sama atau
sedikit lebih tinggi daripada yang diterimanya/balas dendam. Menyepelekan dan
merendahkan sebagai ekspresi sikap arogan atau sombong adalah prediktor yang
kuat bagi munculnya perilaku agresif.
Faktor sosial lainnya yang menyebabkan perilaku agresif adalah
alkohol. Kebanyakan hasil penelitian yang terkait dengan konsumsi alkohol
menunjukan kenaikan agresivitas. Di kawasan Timur Indonesia mencatat lebih
banyak angka kekerasan. Melalui beberapa penelitian, di Manado terungkap
beberapa hal yang menarik dan menimbulkan perilaku agresif terkait dengan
konsumsi minuman keras.
b.
Kepribadian Seseorang
Antara individu yang satu dengan individu yang lain tentulah
memiliki kepribadian yang berbeda. Orang A memiliki kepribadian dengan
cenderung lebih melakukan perilaku agresif yang bertujuan untuk melukai atau
menyakiti korban. Sedangkan orang B memiliki kepribadian dengan cenderung lebih
melakukan perilaku agresif yang dilakukan karena ada tujuan yang utama dan
tidak ditujukan untuk melukai atau menyakiti korban.
Salah satu kepribadian lain yaitu sikap narsis seseorang yang
berawal dari Narsisisme, dimana dijelaskan bahwa orang yang memiliki
kepribadian narsis yang sering mencerminkan dirinya atas kecantikan atau
ketampanan yang dimilikinya, cenderung memiliki tingkat agresiv yang lebih
tinggi. Hal ini dikarenakan dirinya merasa terancam mana kala ada yang
mempertanyakan tentang dirinya.
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu perbedaan jenis kelamin.
Anak laki-laki cenderung memiliki tingkat agresif yang lebih tinggi
dibandingkan anak perempuan. Penelitian yang dilakukan terhadap anak usia 3-11
tahun menunjukan bahwa anak laki-laki lebih menunjukan ekspresi dominan,
merespons secara agresif sehingga memulai tingkah laku agresif, dan anak
laki-laki lebih menampilkan perilaku agresif dalam bentuk fisik dan verbal.
c.
Kebudayaan
Ketika kita menyadari bahwa lingkungan juga berperan terhadap
tingkah laku, maka tidak heran jika muncul ide bahwa salah satu penyebab agresi
adalah faktor kebudayaan. Lingkungan geografis, seperti pantai/pesisir
menunjukan karakter lebih keras daripada masyarakat yang hidup di pedalaman.
Nilai dan norma yang mendasari sikap dan tingkah laku masyarakat juga
berpengaruh terhadap agresivitas suatu kelompok.
d.
Situasional
Kondisi cuaca mempengaruhi tingkah laku seseorang. Ketidaknyamanan
akibat panas menyebabkan kerusuhan dan bentuk-bentuk perilaku agresif lainnya.
Kondisi cuaca yang panas lebih sering memunculkan aksi agresif.
e.
Media Massa
Menurut Ade E Mardiana, tayangan dari televisi berpotensi besar
diimitasi oleh pemirsanya. Hal yang dinyatakan oleh Mardiana tampak tidak
terlalu mengherankan, mengingat hasil penelitian klasik Bandura tentang
modeling kekerasan oleh anak-anak. Khusus untuk media massa televisi yang
merupakan media tontonan dan secara alami mempunyai kesempatan lebih bagi
pemirsanya untuk mengamati apa yang disampaikan secara jelas. Oleh karena itu,
kemudian dilakukan penelitian tentang hubungan kekerasan dan televisi dengan
mengajukan hipotesis “mengamati kekerasan akan meningkatkan agresivitas”
(Haddad dan Glassman, 2004).
Hasil penelitian tentang hubungan kekerasan dan televisi[3]
Kategori acara yang mengandung kekerasan
|
Persentase
|
Sinetron
|
29,7
|
Variety dan reality show
|
20,9
|
Berita
|
10,1
|
Iklan
|
8,1
|
Film Kartun
|
6,8
|
Talk show
|
6,8
|
Kuis
|
6,8
|
Olahraga
|
2
|
Lainnya
|
4,1
|
2. Ciri-ciri Perilaku Agresif pada Anak SMP/MTS
Menurut Sukmadinata (2007: 414), perilaku-perilaku agresif
dimanifestasikan keluar supaya dapat diamati oleh orang lain. Oleh karena itu,
untuk menilai siswa memilki kecenderungan perilaku agresif atau tidak, guru
atau konselor dapat mengidentifikasi dan melihatnya berdasarkan ciri-ciri
sebagai berikut:
a.
Siswa seringkali berbohong, walaupun ia seharusnya berterus terang,
menyontek, meskipun seharusnya tidak perlu menyontek.
b.
Suka mencuri, atau mengatakan ia kecurian bila barangnya tidak ada.
c.
Suka merusak barang orang lain atau barangnya sendiri, melakukan
kekejaman, menyakiti orang lain, berbicara kasar, menyinggung perasaan orang
lain, tidak peduli pada orang lain yang membutuhkan pertolongannya.
d.
Suka menggangu siswa lain yang lebih kecil atau lebih lemah.
e.
Seringkali marah-marah, uring-uringan, memukulkan kaki tangan,
menangis dan menjerit.
Sementara itu menurut Anantasari (2006: 80, 90, 91, 107), ciri-ciri
perilaku agresif sebagai berikut:
a.
Perilaku menyerang; perilaku menyerang lebih menekankan pada suatu perilaku
untuk menyakiti hati, atau merusak barang orang lain, dan secara sosial tidak
dapat diterima.
Contoh; sikap
anak yang mempertahankan barang yang dimiliknya dengan memukul.
b.
Perilaku menyakiti atau merusak diri sendiri, orang lain, atau
objek-objek penggantinya; perilaku agresif termasuk yang dilakukan anak, hampir
pasti menimbulkan adanya bahaya berupa kesakitan yang dapat dialami oleh
dirinya sendiri atau orang lain. Bahaya kesakitan dapat berupa kesakitan fisik,
misalnya pemukulan, dan kesakitan secara psikis misalnya hinaan. Selain itu
yang perlu dipahami juga adalah sasaran perilaku agresif sering kali ditujukan
seperti benda mati. Contoh : memukul meja saat marah.
c.
Perilaku yang tidak diinginkan orang yang menjadi sasaranya;
perilaku agresif pada umumnya juga memiliki sebuah ciri yaitu tidak diinginkan
oleh orang yang menjadi sasaranya. Contoh: tindakan menghindari pukulan teman
yang sedang jengkel.
d.
Perilaku yang melanggar norma social; perilaku agresif pada umumnya
selalu dikaitkan dengan pelanggaran terhadap norma-norma sosial.
e.
Sikap bermusuhan terhadap orang lain; perilaku agresif yang mengacu
kepada sikap permusuhan sebagai tindakan yang di tujukan untuk melukai orang
lain. Contoh: memukul teman
f.
Perilaku agresif yang dipelajari; perilaku agresif yang dipelajari
melalui pengalamannya di masa lalu dalam proses pembelajaran perilaku agresif,
terlibat pula berbagai kondisi sosial atau lingkungan yang mendorong perwujudan
perilaku agresif. Contoh: kekerasan dalam keluarga, tayangan perkelahian dari media.[4]
Perilaku agresif di kalangan remaja yang biasa dikenal sebagai
tawuran pelajar merupakan hal yang sudah terlalu sering didengar bahkan
cenderung dianggap biasa. Harian Solo Pos (2004) mencatat bahwa
perkelahian-perkelahian di kalangan remaja biasanya diakibatkan oleh ejekan-ejekan
kecil yang dianggap sebagai tindakan penghinaan yang semakin lama semakin
memanas hingga menimbulkan perkelahian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
kasus-kasus kenakalan yang terjadi pada remaja merupakan salah satu manifestasi
dari sifat agresi verbal yang ada dalam diri remaja.
Menurut beberapa survey, perkelahian-perkelahian tersebut diawali
karena sekolahan mengikuti perlombaan antar sekolah. Tetapi pada kenyataannya
sekolahan yang kalah merasa tidak terima, kemudian mereka menyerang dengan
saling mengejek hingga akhirnya berkelahi. Ketidak mampuan remaja dalam
menerima kekalahan tersebut menunjukkan bahwa remaja tersebut memiliki
kecerdasan emosi yang rendah. Karakteristik psikologis orang yang memiliki
agresivitas tinggi menurut Stein & Book (2002) diantaranya adalah tidak menghormati
pendapat orang lain serta tidak peduli pada kebutuhan atau perasaan orang lain,
cenderung memaksakan pendapat atau keinginannya supaya dapat diterima oleh
orang lain dengan cara mencemooh, mengancam serta memanipulasi orang tersebut, kesulitan
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Karakteristik psikologis lainnya yang
dimiliki oleh remaja yang agresivitas verbalnya tinggi menurut Goleman (2002)
ialah mengalami masalah emosional yang cukup berat, seperti mudah marah, mudah
terpengaruh, putus asa, sulit mengendalikan dorongan hati, sulit mengambil
keputusan, dan memotivasi diri sendiri.
Karakteristik siswa SMP jika dilihat dari tahapan perkembangan yang
disetujui oleh banyak ahli, anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada
pada tahap perkembangan pubertas (10-14 tahun). Menurut Desmita (2010: 36) ada
beberapa karakteristik siswa usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) antara lain:
a.
Terjadinya ketidak seimbangan proporsi tinggi dan berat badan.
b.
Mulai timbulnya ciri-ciri seks sekunder.
c.
Kecenderungan ambivalensi, serta keinginan menyendiri dengan
keinginan bergaul, serta keinginan utuk bebas dari dominasi dengan kebutuhan
bimbingan dan bantuan dari orang tua.
d.
Senang membandingkan kaedah-kaedah, nilai-nilai etika atau norma
dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan orang dewasa.
e.
Mulai mempertanyakan secara skeptis mengenai eksistensi dan sifat
kemurahan dan keadilan Tuhan.
f.
Reaksi dan ekspresi emosi masih labil.
g.
Mulai mengembangkan standard dan harapan terhadap perilaku diri
sendiri yang sesuai dengan dunia sosial.
h.
Kecenderungan minat dan pilihan karier relatif sudah lebih jelas.
Agresivitas yang merupakan tindakan anarkis atau merugikan orang
lain juga dipengaruhi kecerdasan emosi yang dimiliki individu. Keadaan emosi
remaja masih labil dan penuh gejolak emosi dan tekanan karena keadaan hormon.
Suatu saat remaja bisa sedih sekali, dilain waktu remaja bisa marah sekali.
Remaja sering tidak mampu menahan emosi yang meluap-luap, bahkan remaja mudah
terjerumus ke dalam tindakan tidak bermoral. Emosi remaja lebih kuat dan lebih
menguasai diri remaja daripada pikiran yang realistis.(Zulkifli, 2001)
C. Implementasi Praktik Keterampilan Mengelola Agresivitas
Berdasarkan pengertian dan hakekat agresivitas atau perilaku
agresif yang telah di paparkan di atas, perilaku agresivitas siswa SMP sebagai anak
remaja biasanya adalah bentuk tindakan perilaku gresif verbal seperti menghina,
memaki, marah, dan mengumpat. Sedangkan untuk perilaku agresif non verbal atau
bersifat fisik langsung adalah perilaku memukul, mendorong, berkelahi,
menendang, dan menampar. Tetapi perilaku agresif ini dapat menyebabkan suatu
tindakan yang sangat fatal akibatnya yaitu tawuran antar pelajar dan kenakalan
remaja atau suatu tindakan yang dilakukan oleh anak remaja yang menyimpang dari
nilai-nilai hukum yang ada.
Secara khusus perilaku-perilaku tersebut menunjukan
gangguan-ganguan yang disebabkan oleh proses belajar yang tidak semestinya,
seperti gangguan mempelajari jenis-jenis kemampuan yang diperlukan seperti
mencintai lawan jenis, memiliki konsep diri yang positif, atau terlanjur
mempelajari bentuk-bentuk perilaku yang maladaptif misalnya, anak yang tumbuh
menjadi remaja agresif karena meniru perilaku orangtua dan tekanan keadaan di
dalam keluarga atau lingkungan yang tidak harmonis.
Perilaku agresif anak SMP khususnya usia remaja ini haruslah dapat
dikelola dengan terampil agar tidak memyebabkan suatu kekerasan yang dapat
menjadi kebiasaan siswa ketika dewasa seraya dengan tugas perkembangan diri
siswa di sekolah. Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata
pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan
pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik
yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah
pribadi, masalah sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir serta
kegiatan ekstrakulikuler. Watak adalah sifat batin manusia yang mempengaruhi
semua pemikiran dan tingkah laku, budi pekerti, dan tabiat. Kepribadian adalah
sifat yang hakiki yang tercermin pada sikap seseorang.
Kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah harus mampu
mengembangkan keterampilan mengelola agresivitas tersebut. Konselor harus
memberikan suatu sentuhan kepada konseli agar perilaku agresif mereka dapat
terkendali. Berikut ini beberapa cara mengatasi perilaku agresif siswa :
1.
Mengamati tingkah laku yang baik
Anak adalah pengamat yang tajam. Jika ia melihat tokoh utama
hidupnya baik, kemungkinan besar ia akan bertingkah laku menjadi baik pula,
bahkan sebaliknya. Dalam hal mengamati tingkah laku yang baik disini, haruslah
memilih sebuah nontonan yang baik untuk anak. Orang tua harus selektif dalam
memilih tayangan untuk dilihat anak bersama keluarga. Acara yang bersifat
menolong dan minim kekerasan dapat dipertimbangkan sebagai tontonan anak.
2.
Memberikan hukuman
Sejarah manusia mencatat lebih banyak mencatat hukuman sebagai cara
penanganan atas agresivitas. Hal yang paling penting dalam penggunaan hukuman
adalah hukuman harus jelas dan sesegera mungkin mengikuti agresivitas yang
dilakukan. Kedua, hukuman harus amat keras sehingga mengurangi kemungkinan
pengulangan oleh pelaku.
3.
Katarsis
Katarsis adalah upaya untuk menurunkan rasa amarah dan kebenciannya
dengan cara yang lebih aman, sehingga mengurangi bentuk agresivitas yang
sekiranya akan muncul. Umumnya katarsis berupa kegiatan fisik yang menguras
tenaga. Ketika fisik lelah diperkirakan tingkah laku agresif akan turun.
Beberapa aktivitas itu antara lain olahraga dan menonton film laga.
4.
Kognitif
Biasanya orang terkena perilaku agresiv dirinya merasa terdzalimi, tetapi
orang yang terdzalimi tadi memberikan maaf kepada orang yang mendzalimi, hal
ini menjadi mungkin ketika kognisi orang yang didzalimi tadi diisi dengan
informasi bahwa perlunya memaafkan orang yang menzalimi. Memaafkan dengan
setulus hati dapat mengurangi agresivitas, setidaknya agrsivitas yang tampak.
Dalam menangani perilaku agresif siswa selain dengan cara
pencegahan di atas, konselor dapat membantu pengembangan keterampilan
pengelolaan agresivitas siswa dengan memahami konsep diri dan kecerdasan emosi
siswa. Konsep diri adalah pandangan individu tentang diri sendiri, yang
meliputi aspek fisik, psikis, sosial dan moral. Konsep diri ini akan
berpengaruh pada sikap dan tingkah lakunya. Remaja yang tidak bisa
mengendalikan emosinya sering melakukan tindakan yang dilakukan tanpa berpikir
panjang, akibatnya tindakan yang dilakukan adalah salah. Seseorang yang
mempunyai kecerdasan emosi akan dapat mengarahkan perilakunya, karena
kecerdasan emosi merupakan kemampuan individu yang berhubungan dengan kemampuan
memahami, mengelola dan mengendalikan emosi serta kemampuan dalam merubah
dorongan emosi negatif menjadi positif. Agresivitas remaja akan dipengaruhi
konsep diri dan kecerdasan emosinya, karena konsep diri dan kecerdasan emosi
yang tinggi dapat mengurangi terjadinya agresivitas.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan individu yang berhubungan dengan
kemampuan memahami, mengelola dan mengendalikan emosi serta kemampuan dalam
merubah dorongan emosi negatif menjadi positif. Menurut Goleman (2001), aspek
atau komponen kecerdasan emosi meliputi kesadaran diri, pengaturan diri,
motivasi, empati, keterampilan sosial. Kesadaran diri berarti kemampuan yang dimiliki
individu dalam memahami emosi dirinya sendiri. pengaturan diri berarti dapat
mengatur emosi pada diri sendiri. Motivasi berarti kemampuan individu dalam
mengarahkan dan membangkitkan emosi. Empati berarti kemampuan dalam memahami
perasaan dan emosi orang lain. Keterampilan sosial berarti kemampuan yang
dimiliki individu dalam berinteraksi dengan orang lain.
Kecerdasan emosi dapat dibangun dengan memberikan suatu pemberian
sentuhan islami pada siswa contohnya seperti memberikan jam pelajaran tambahan
tadarus al-quran setiap pagi sebelum memulai pelajaran dan melaksanakan shalat
dhuha pada waktunya. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengadakan suatu
bakti sosial peduli lingkungan atau kegiatan kemasyarakatan lainnya agar siswa
dapat bersosialisasi, memahami, dan beradaptasi dengan keadaan lingkungan
sekitarnya.
Selain itu peran orang tua juga sangat diperlukan dalam membangun
keterampilan pengelolaan agresivitas anak. Dalam hal ini orang tua haruslah
memperhatikan perilaku agresif anak dan mengenalinya, akan lebih baik jika
orang tua memperhatikan metode dialog dan cara memahami anak dengan tujuan
untuk memperbaiki hubungan dengan anak hal ini juga sebagai pemberian motivasi
kepada anak, serta orang tua wajib mengawasi dan mengarahkan perilaku agresif
anak dan wajib meredamnya.[5]
Keterampilan pengelolaan agresivitas atau mengurangi perilaku
agresif siswa di SMP dapat pula dilakukan dengan pemberian konseling kelompok.
Pemberian konseling kelompok ditujukan untuk membantu peserta didik yang
mengalami kesulitan, megalami hambatan dalam mencapai tugas-tugas
perkembanganya. Sehingga dengan konseling kelompok ini individu mampu
mengetahui akan potensi diri, penemuan alternatif pemecahan masalah, mengetahui
konsep diri, dan pengambilan keputusan secara lebih tepat dan dapat mengurangi
perilaku-perilaku bermasalah termasuk perilaku agresifnya.
Dalam layanan konseling kelompok terdapat dinamika kelompok yang
dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agesif yaitu, mereka dapat
mengembangkan berbagai ketrampilan yang pada intinya meningkatkan kepercayaan
diri dan kepercayaan orang lain seperti berani mengemukakan atau percaya diri
dalam berperilaku terhadap orang lain, cinta diri yang dapat dilihat dari dalam
berperilaku dan gaya hidupnya untuk memelihara diri, memiliki pemahaman yang
tinggi terhadap segala kekurangan dan kemampuan dan belajar memahami orang lain
ketegasan dan menerima kritik dan memberi kritik dan ketrampilan diri dalam
penampilan dirinya serta dapat mengendalikan perasaan dengan baik.
Pelayanan konseling kelompok yaitu
layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik
memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang
dialami melalui dinamika kelompok.[6]
Dinamika kelompok adalah suasana yang hidup, yang berdenyut, yang bergerak,
yang berkembang, yang ditandai dengan adanya interaksi antar sesama anggota
kelompok. Pelayanan konseling kelompok merupakan pelayanan konseling yang
diselenggarakan dalam suasana kelompok.
a.
Tujuan konseling kelompok, meliputi :
1)
Melatih anggota kelompok agar berani berbicara dengan orang banyak;
2)
Melatih anggota kelompok dapat bertenggang rasa terhadap teman
sebayanya;
3)
Dapat mengembangkan bakat dan minat masing-masing anggota kelompok;
4)
Mengentaskan permasalahan-permasalahan kelompok.
b.
Materi layanan konseling kelompok mencakup :
1)
Pemahaman dan pengembangan sikap, kebiasaan, bakat, minat dan penyalurannya.
2)
Pemahaman kelemahan diri dan penanggulangannya, pengenalan kekuatan
diri dan pengembangannya.
3)
Perencanaan dan perwujudan diri.
4)
Mengembangkan kemampuan berkomunikasi, menerima/menyampaikan
pendapat, bertingkah laku dan hubungan sosial, baik di rumah, sekolah maupun
masyarakat.
5)
Mengembangkan hubungan teman sebaya baik di rumah, sekolah dan
masyarakat serta teknik-teknik penguasaan materi pelajaran.
6)
Pemahaman kondisi fisik, sosial, dan budaya dalam kaitannya dengan
orientasi belajar di perguruan tinggi.
7)
Pemantapan dalam mengambil keputusan dalam rangka perwujudan diri.
c.
Dalam kegiatan kelompok hal yang perlu ditampilkan oleh seluruh
anggota kelompok adalah :
1)
Membina keakraban dalam kelompok.
2)
Melibatkan diri secara penuh dalam suasana kelompok.
3)
Bersama-sama mencapai tujuan kelompok.
4)
Membina dan mematuhi aturan kegiatan kelompok.
5)
Ikut serta dalam seluruh kegiatan kelompok.
6)
Berkomunikasi secara bebas dan terbuka.
7)
Membantu orang lain dalam kelompok.
8)
Memberikan kesempatan kepada orang lain dalam kelompok.
9)
Menyadari pentingnya kegiatan kelompok.
Secara keseluruhan, pembahasan tentang masalah klien diusahakan
mencapai inti permasalahan beserta arah dan alternatif pemecahannya. Dalam
rangka penanganan masalah tersebut, kegiatan kelompok dibawah asuhan guru
pembimbing kalau perlu sampai dengan dilakukannya latihan pengubahan tingkah
laku yang hendaknya di praktikan siswa bermasalah.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Kurnia, Rifa,
dkk. Hubungan Antara Konsep Diri dan Kecerdasan Emosi dengan Agresivitas
pada Sisa Kelas XI MAN Klaten. 2011.
Mubayidh,
Makmun. Kecerdasan dan Kesehatan Emotional Anak. Jakarta : Pustaka
al-Kautsar. 2010.
Sukardi, Dewa
Ketut. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Jakarta : Rineka Cipta. 2008.
Tambunan,
EH. Remaja Sahabat Kita. Bandung : Indonesia Publishing House. 1981.
Tim
Penulis Fakultas Psikologi UI. Psikologi Sosial. Jakarta : Salemba Humanika.
2009.
Zulkifli,
L. Psikologi Perkembangan. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2001.
Klasin,
Muhammad. Perilaku Agresif. http://konselingpsikoterapi.blogspot.com/2011/06/perilaku-agresif.html?m=1 (diakses
pada 01 Juni 2015 pukul 14:00)
[1] Tim Penulis
Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial, (Jakarta : Salemba Humanika),
2009, hal 148
[2] Rifa Kurnia,
dkk, Hubungan Antara Konsep Diri dan Kecerdasan Emosi dengan Agresivitas
pada Sisa Kelas XI MAN Klaten, 2011
[3] Op.Cit
hal 157
[4] Muhammad
Klasin, Perilaku Agresif, http://konselingpsikoterapi.blogspot.com/2011/06/perilaku-agresif.html?m=1
[5] Makmun
Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, (Jakarta : Pustaka
al-Kautsar), 2010, hal : 228
[6] Dewa Ketut
Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah,
(Jakarta : Rineka Cipta), 2008, hal 68
[7] Ibid
hal 71
Post a Comment