0

ASPEK HUKUM ISLAM

Posted by Unknown on 2:21 AM


BAB I

PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

Agama Islam adalah agama yang terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah mencakup segala aspek kehidupan manusia yang berlaku bagi seluruh umat manusia di seluruh penjuru dunia. Di dalam Agama Islam mempunyai hukum-hukum yang harus dipatuhi yaitu Hukum Islam. Dimana pengertian Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada umat-Nya sebagai penuntun dari problematika kehidupan manusia yang telah terbaur dengan kemodernsasian  agar tidak melanggar dari ketentuan yang dijarkan Islam. Dengan maraknya masa modernisasi, globalisasi, dan adat/kebudayaan sekarang ini, membuat manusia sulit untuk menelaah apakah Hukum Islam yang berlaku di dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan Hukum Islam yang berlaku dalam Islam? Hal ini dapat menimbulkan kontravensi di dalam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memberikan informasi serta wawasan kepada masyarakat khususnya Umat Islam mengenai Apakah Hukum Islam itu, Sumber-Sumber Hukum Islam, dan Fungsi dari Hukum Islam. Semoga dengan ini masyarakat jauh lebih mengetahui tentang Hukum Islam dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.


1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang penulis coba angkat dalam penulisan makalah ini adalah:
1.            Apa pengertian dan tujuan Hukum Islam ?
2.      Apa saja pembagian hukum islam itu ?
3.      Apa saja sumber-sumber Hukum Islam ?
4.      Apa fungsi dari Hukum Islam ?


1.3 Tujuan Penulisan

Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan dapat:
1.      Mengetahui dan memahami pengertian dan tujuan Hukum Islam
2.      Mengetahui dan memahami pembagian hukum islam
3.      Mengetahui dan memahami sumber-sumber Hukum Islam
4.      Mengetahui dan memahami Fungsi hukum Islam





BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Pengertian dan Tujuan Hukum Islam

A.    Pengertian Hukum Islam

Secara etimologis, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu pada yang lain”.[1] Sedangkan menurut istilah hukum adalah titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntunan, pilihan maupun wadh’i.
Sedangakan hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, yang kini terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulnya, melalui sunah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab hadis.
Hukum islam sebagai hukum yang bersumber dari Din al Islam sebagai suatu sistem hukum dan suatu disiplin ilmu. Hukum islam di Indonesia sering kita jumpai istilah hukum islam, syariat dan fiqh.
Istilah hukum islam merupakan istilah khas Indonesia sebagai terjemahan al-fiqh al-islamy atau dalam konteks tertentu dari al syariah al islamy. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai hukum islam perlu dipahami dahulu pengertian syariah dan fiqh.
Dilihat dari sudut kebahasaan, syariah atau syariat berarti jalan yang lurus, jalan yang dilalui air terjun, jalan tempat keluarnya air untuk minum[2], jalan yang jelas atau jalan raya untuk diikuti sumber air atau sumber kehidupan.[3] Syariah dalam arti “din” yakni memiliki arti jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia.[4] Pada masa Rasulullah, hidup istilah syara’i sebagai bentuk jamak dari kata syariah digunakan dalam arti masalah-masalah pokok islam.
Syariah ialah peraturan-peraturan yang diciptakan Allah, atau yang diciptakannya pokok-pokoknya supaya manusia berpegang kepadanya dalam berhubungan dengan Tuhan, saudara sesama manusia, saudara sesama muslim atau non muslim, serta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan ini.[5]
Ilmu yang pelajari syariah disebut dengan ilmu fiqh. Istilah fiqh secara bahasa berarti pintar, cerdas, mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Kajian ilmu fiqh adalah mengetahui hukum dari setiap perbuatan mukallaf, tentang halal, haram, wajib, mandub, makruh atau mubahnya beserta dalil-dalil yang menjadi dasar ketentuan-ketentuan hukum tersebut apakah dalilnya itu dinyatakan dalam al-quran atau as-sunah.
Syariah Islam dan fiqh adalah dua istilah yang sangat erat hubungannya dan tidak bisa dipisahkan karena syariah merupakan landasan fiqh dan fiqh merupakan pemahaman orang yang memenuhi syarat syari’at. Hukum Islam dalam pengertian syari’at maupun fiqh dibagi menjadi dua yaitu: bidang ibadah dan bidang muamalah.

Berdasarkan definisi diatas, maka disimpulkan bahwa hukum islam adalah nama bagi segala ketentuan Allah dan utusan-Nya yang mengandung larangan, pilihan, menyatakan syarat, sebab dan halangan untuk suatu perbuatan hukum.
Ciri-ciri hukum islam :
1.      Hukum islam adalah hukum agama islam
2.      Hukum islam memiliki sifat yang universal
3.      Hukum islam dalam bidang ubudiyah halnya telah diatur sedemikian rupa dalam alquran dan assunah
4.      Hukum islam dalam bidangan muamalah cocok untuk insan kamil manusia, perasaan hukum, kesadaran hukum masyarakat dapat dikembangkan dan senantiasa tumbuh menurut kebutuhan dan pandangan hidup masyarakat yang dilandasi alquran dan assunah.


B.     Tujuan Hukum Islam

Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka serta mengarahkan mereka pada kebenaran. Hal itu dimaksudkan untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala manfaat dan mencegah yang madlarat yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia. Abu Ishaq al- Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Isalam, yakni memelihara Agama, jiwa , akal, keteurunan, dan harta yang disebut (Maqashid al-khamsah).


2.2 Pembagian Hukum Islam


            Ketentuan syar’i terhadap para mukhalaf itu ada tiga bentuk yaitu, tuntutan, pilihan dan wadh’i. Ketentuan yang dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut hukum taklifi, yang dalam bentuk pilihan disebut takhyiri, sedangkan yang memperngaruhi perbuatan taklifi disebut wadh’i.

1)      Hukum Taklifi

Yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah ketentuan-ketentuan hukum yang menuntut para mukhalaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Hukum taklifi sebagaimana telah diuraikan, yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
a.       Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang mengerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa.
b.      Mandub, yaitu ketentuan-ketentuan syari’ tentang berbagai amaliyah yang harus dikerjakan mukallaf dengan tuntutan yang tidak mengikat. Dan pelakunya diberi imbalan pahala tanpa ancaman dosa bagi yang meninggalkannya.
c.       Haram, yaitu tuntutan syari’ kepada orang-orang mukallaf untuk meninggalkan sesuatu yang dilarang untuk dikerjakan dengan imbalan pahala bagi yang mentaatinya dan imbalan dosa bagi yang melanggarnya.
d.      Makruh, yaitu ketentuan syara’ yang menuntut mukallaf untuk meninggalkannya dengan tuntutan yang tidak mengikat. Meninggalkan perbuatan makruh memperoleh imbalan pahala, sementara pelanggaran terhadap ketentuan tersebut tidak menimbulkan dosa.
e.       Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Jika dikerjakan tidak berdosa, begitu juga jika ditinggalkan.

2)      Hukum Takhyiri

Hukum takhyiri adalah ketentuan Tuhan yang memberi peluang bagi mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya. Dalam pembahasan ilmu ushul hukum takhyiri biasa disebut dengan mubah. Ketentuan mubah biasanya dinyatakan syari’ dalam tiga bentuk, yaitu dengan manafsirkan dosa pada perbuatan yang dimaksud, dengan ungkapan penghalalan, dan dengan tidak ada pernyataan apa-apa tentang perbuatan yang dimaksud. Contohnya seperti mendengarkan siaran radio, menonton acara televisi, dan yang lainnya yang tidak menimbulkan dampak-dampak negatif terhadap mereka.

3)      Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu ketentuan sebagai pertanda ada atau tidak adanya hukum taklifi. Yakni ketentuan-ketentuan yang dituntut syari’ untuk ditaati dengan baik, karena mempengaruhi terwujudnya perbuatan-perbuatan taklif lain yang terkait langsung dengan ketentuan wadh’i tersebut.
Hukum wadh’i itu ada tiga :
a.       Sabab, adalah sesuatu yang nampak jelas yang dijadikan sebagai penentu adanya hukum. Seperti masuknya waktu shalat yang menjadi sebab adanya kewajiban shalat. Oleh sebab itu, sejauh waktunya belum tiba, kewajiban shalat tersebut belum ada.
b.      Syarath, sesuatu yang terwujud atau tidaknya suatu perbuatan amat tergantung kepadanya. Dan jika syarath ini tidak terpenuhi, maka perbuatan taklifinya pun secara hukum tidak terwujud. Namun tidak berarti bahwa setiap syarath ada hukum. Berbeda dengan sabab, karena setiap sabab ada hukumnya.
c.       Mani’, merupakan suatu keadaan atau perbuatan hukum yang dapat menghalangi perbuatan hukum lain. Adanya mani’ tersebut membuat ketentuan lain menjadi tidak dapat dijalankan. Dengan demikian mani’ itu tidak lebih dari sebab yang menghalangi pelaksanaan ketentuan hukum atau sebab yang bertentangan dengan sebab lain yang mendukung terlaksananya suatu perbuatan hukum.



2.3 Sumber Hukum Islam

            Hukum islam secara garis besar mengenal dua macam sumber hukum, pertama sumber hukum yang bersifat “naqliy” dan sumber hukum yang bersifat “aqliy”. Sumber hukum naqliy ialah al-quran dan al-sunah, sedangkan sumber hukum aqliy ialah hasil usaha menemukan hukum dengan mengutamakan olah pikiran dengan beragam metodenya yaitu ijma’ sahabat. Sumber hukum aqliy yang mengutamakan olah pikir ini terkait erat dengan istilah “fiqh” dan perkembangan penerapan hukum islam di berbagai dunia tak terkecuali Indonesia.
            Al-quran dan Al-sunah sebagai sumber ilmu syariah secara garis besar mecakup tiga hal :
1.      Hukum yang berkenaan dengan aqidah atau keimanan.
2.      Hukum etika (akhlak) yang mengatur bagaimana seharusnya orang itu berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan.
3.      Hukum praktis (amaliyah) yang mengatur perbuatan, ucapan, perikatan, dan berbagai tindakan hukum seseorang.

Pemaparan rinci tentang norma hukum dari sumber hukum al-quran dan al-sunah tersebut, terutama untuk persoalan-persoalan diluar aspek ibadah, belum menjangkau secara tegas berbagai fenomena yang terjadi. Sehingga diperlukan kajian-kajian lebih lanjut untuk mengetahui ketentuan-ketentuan hukumnya dengan tetap merujuk pada makna dan semangat al-quran dan al-sunah. Untuk kepentingan kajian ini, para ulama telah melahirkan berbagai metodelogi dan pengkajian hukumnya sehingga lahir metodelogi qias, istihsan, uruf, al-istishlah, al-dzari’ah, dan istishab.[6]

1.      Al-Quran

Secara bahasa Al-Qur’an berarti bermacam-macam, bacaaan, yang dibaca. Ditinjau dari segi terminology Al-Quran adalah kalam Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad dengan perantara malaikat Jibril dan tertulis di dalam mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir dan diperintahkan membacanya.
Rangkaian kalam-kalam Allah tersebut kini telah tertuang secara sempurna dalam sebuah kitab suci yang diberi nama al-quran al karim, yang secara keseluruhan berisikan ajaran-ajaran akidah, syariah (norma-norma hukum), serta norma akhlaq bagi umat manusia dalam rangka memberi petunjuk kepada mereka agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Al-quran merupakan sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syariah, al-quran merupakan undang-undang dasar, sumber dari segala dan dasar dari segala dasar. Al-quran sebagai sumber hukum memiliki empat prinsip umum dalam memahami makna al-quran, yaitu :
1.      Al-quran merupakan keseluruhan syariat dan sendinya yang fundamental.
2.      Sebagaian besar ayat-ayat hukum yang turun karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya.
3.      Setiap berita kejadian masalalu yang diungkapkan al-quran jika terjadi penolakannya baik sebelum atau sesudahnya maka penolakan tersebut menunjuk secara pasti bahwa isi berita itu sudah dibatalkan.
4.      Kebanyakan hukum yang diberitahukan oleh al-quran bersifat kully (pokok bahasan yang berdaya cukup luas) dan disebutkan secara objektif seperti terungkap dari penilitian.

Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
a.       Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
  1. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
  2. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
  3. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat.


2.      Al-sunah

Al-sunah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW selain al-quran, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya yang berkenaan dengan hukum syara. Adib Shaleh menyatakan bahwa istilah al-sunah sering kali dipergunakan untuk ketetapan Rasulullah mengenai hukum islam, bahkan termasuk dari para sahabatnya. Namun al-sunah yang dimaksud dalam pembahasan ini terbatas pada norma-norma hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah atau para sahabatnya yang mendapat pengesahan dari beliau.
Macam-macam Al-sunah :
1.      Alsunah bedasarkan bentuknya :
a.       Sunah qauliyah, berupa ucapan/perkataan nabi dalam berbagai tujuan dan permasalahan
b.      Sunah fi’liyah, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan atau tindakan nabi
c.       Sunah Taqririyah, berupa pengakuan atau sikap nabi
d.      Sunah Hamimiyah, sunah yang berhubungan dengan sesuatu yang dikehendaki nabi tapi belum sampai diperbuatnya.

2.      Berdasarkan sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
a.       Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
  1. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
  2. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Fungsi al-sunah ialah memberikan penjelasan atau keterangan terhadap hal yang diperkatakan di dalam al-quran. Sebab pada umumnya hal-hal yang dibicarakan dalam al-quran itu bersifat global. Sebagai sumber hukum kedua al-sunah berfungsi antara lain:

1)      Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an (bayan ta’qid).Contoh seperti larangan menyekutukan Allah.

2)      Berfungsi member penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Contohnya seperti suruhan untuk melaksanakan shalat yang masih bersifat global.

3)      Berfungsi untuk menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya dalam Al-qur’an. Contoh seperti telah diuraikan bahwa Al-Qur’an menentukan secara jelas tentang keharaman 4 macam hal, yaitu: bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih selain untuk Allah.




3.      Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunakan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum dengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits. Orang yang menjalankan ijtihad disebut mujtahid.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
  1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
  2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
  3. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Pada prinsipnya Ijtihad dipergunakan dalam dua hal, pertama untuk masalah yang sudah ada nash Al-Qur’an dan Hadis, tetapi penunjukan dalilnya bersifat zhanny. Kedua dalam maslah yang tidak ada sama sekali penjelasannya dalam Al-Qur’an dan hadis.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:

اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )

Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam berijtihad seseorang dapat menempuhnya dengan cara ijma’. Ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini.




Metodelogi Ijtihad
1.      Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti ukuran, yakni mengetahui ukuran sesuatu dengan menisbahkkannya pada yang lain. Sedangkan menurut istilah yang biasa digunakan para ulama adalah menghubungkan sesuatu yang belum dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash kepada sesuatu yang sudah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash karena keduanya memiliki kesamaan ilat (alasan) hukum.
Berdasarkan defini yang ada, maka qiyas bisa dikatakan benar jika memenuhi empat rukun, yaitu :
1.      Dasar (dalil)
2.      Masalah yang akan diqiyaskan
3.      Hukum yang terdapat pada dalil
4.      Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Contoh kajian hukum lewat metode qiyas adalah seperti pengharaman meminum bir (minuman keras) melalui qiyas terhadap khamar, karena sama-sama memabukan. Sedangkan khamar sudah dinyatakan keharamannya oleh nash, yaitu dalam surat al-maidah ayat 90.
Kajian hukum lewat metode qiyas ini merupakan proses ijtihad aqliy, karena membawa setiap kejadian baru yang belum diketahui hukumnya pada lingkungan dan naungan nash.
2.      Istihsan
Istihsan secara bahasa berarti mengikuti sesuatu yang menurut analisis nalar adalah baik. Istihsan ialah menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan untuk kepentingan umum atau kepentingan keadilan, dengan meninggalkan qiyas.
Sebagai contoh metode kajian hukum secara istihsan misalnya air bekas minuman harimau, karena binatang buas adalah najis. Berdasarkan atas hukum ini, air bekas minuman elang karena binatang buas semestinya najis pula. Tetapi antara cara meminum harimau dan elang terdapat perbedaan. Harimau meminum dengan lidah sedangkan elang meminum dengan patuk. Di lidah terdapat ludah dan dengan demikian air bekas minuman harimau telah tercampur dengan ludah. Air bekas minuman elang tidak tercampur dengan ludah dan patuknya adalah kering dan suci. Oleh karena itu air bekas minuman elang tetap suci.[7]

3.      Uruf

Yang dimaksud dengan uruf adalah berbagai tradisi yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat, baik berupa pebuatan maupun perkataan yang sesuai dengan al-quran dan al-sunah. Dilihat dari sudut tradisinya, uruf dibagi dua, yaitu uruf perkataan dan uruf perbuatan.
Uruf perkataan adalah kebiasaan penggunaan kata-kata tertentu yang mempunya implikasi hukum dan telah disepakati secara bersama oleh masyarakat. Seperti penggunaan kata “haram” untuk perceraian. Dengan demikian, jika seorang suami mengucap perkataan “engkau telah haram bagiku” kepada istrinya, maka telah jatuh talak kepadanya.
Kemudia uruf yang kedua adalah uruf perbuatan, yakni berupa tindakan atau perbuatan yang telah menjadi kesepakatan masyarakat dan mempunyai implikasi hukum. Seperti pemakaian kamar mandi atau wc umum dengan membayar tarif tertentu tanpa batas waktu. Dengan demikian sewa tertentu cukup untuk pemakaian kamar mandi atau wc umum dalam rentang waktu yang sesuai kebutuhan.
Para ulama fiqh dari golongan yang memakai uruf dalam proses kajian hukumnya mengeluarkan kaidah “al a’datumahkamah” yang artinya bahwa kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu dapat dijadikan rujukan dalam pembahasan hukum.

4.      Al-Istishlah

Ada dua istilah yang biasa dipakai ulama ushul, yaitu al-istishlah yang dipelopori ulama kalangan hanabilah dan al-mashlahah al-mursalah dari kalangan maliki. Kata al-istishlah berarti mencari kemashlahatan atau kebaikan. Sedangkan kata al-mashlahah al-mursalah berati kemaslahatan-kemaslahatan yang menjadi dasar pertimbangan dalam pengkajian hukum untuk persoalan-persoalan yang tidak dinyatakan dalam nash. Dengan demikian perbedaan istishlah ini tidak membawa konsekuensi perbedaan konotasi. Oleh sebab itu, ulama sependapat bahwa istishlah atau al-maslahah al-mursalah adalah menetapkan hukum bagi suatu kejadian yang belum ada nashnya dengan memperhatikan kepentingan kemaslahah, yakni memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.
Contohnya dalam masyarakat kecil surat nikah dan surat cerai tak perlu. Tetapi dalam masyarakat kota besar seperti Jakarta maslahat menghendaki supaya perceraian dan pernikahan mempunyai bukti dalam bentuk surat cerai dan surat nikah. Sahabat ada juga yang memakai dasar ini, Abu Bakar contohnya. Beliau memerangi suku-suku bangsa Arab yang tidak mau membayar zakat atas dasar maslahat umum. Umat bin Khattab mengadakan peraturan-peraturan pajak tanah, mendirikan penjara, dan menghentikan hukum potong tangan di zaman kelaparan juga atas dasar maslahat ini.

5.      Al-Dzari’ah

Dilihat dari segi kebahasaan, kata al-dzari’ah berarti jalan yang menghubungkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang akan membawa pada perbuatan-perbuatan terlarang dan menimbulkan mafsadah, atau yang akan membawa pada perbuatan-perbuatan baik dan menimbulkan maslahah.
Sesuai dengan definisi diatas, al-dzari’ah itu terbagi menjadi dua, yaitu yang akan membawa pada perbuatan terlarang dan menimbulkan mafsadah dan kedua yang akan membawa pada perbuatan baik serta menimbulkan mashlahah.
Al-dzari’ah jenis pertama termasuk perbuatan buruk yang harus ditutup, itulah yang disebut sad al-dzari’ah. Penutupan yuridis terhadap perbuatan tersebut bisa dengan hukum haram atau makruh. Contoh dari sad al-dzari’ah adalah melihat aurat perempuan. Perbuatan ini harus dilarang (diharamkan) karena akan menimbulkan zina.
Al-dzari’ah jenis ke dua termasuk perbuatan-perbuatan baik dan harus dibuka kesempatan untuk melakukannya, inilah yang disebut dengan fath al-dzari’ah. Pembukaan peluang untuk melakukannya bisa dengan wajib atau mubah tergantu kemashlahatan yang akan ditimbulkannya. Contoh pengaturan pemberangkatan haji sebagai suatu kebijaksanaan yang memberi peluang bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah haji, sebagai rukun islam yang ke lima.

6.      Istishab

Dilihat dari segi kebahasaan kata istishab berarti thalab al mushahabah (mencari pemilikan), yakni berusaha menetapkan suatu ketentuan hukum tetap menjadi milik sesuatu. Sementara menurut istilah bermakna menetapkan hukum dengan tetap memberlakukan hukum yang ada untuk saat ini dan yang akan datang, sesuai dengan hukum yang berlaku pada suatu waktu sebelumnya, sebelum ada dalil yang mengubahnya.
Dasar segala sesuatu dalam alam ini ialah ibadah, yaitu dibolehkan, tidak dilarang memakai, memakan, meminum dan sebagainya. Selama tidak ada dalil alquran, hadis dan lain lain, yang membatalkan hukum ibadah itu, benda yang bersangkutan boleh dipakai, dimakan, atau diminum, dalam kategori ini termasuk minuman kopi, teh, dan sebagainya. Contoh lain seseorang yang telah berwudhu tetap dalam kesuciannya sebelum ada kejadian yang membatalkannya bahkan keraguan akan batal atau tidak wudhunya itu pun tidak dapat menghilangkan kesuciannya.



2.4   Fungsi Sumber Hukum Islam

Peranan dan fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat adalah untuk mengatur agar hubungan itu berjalan dengan baik menuju keseimbangan hidup manusia antara kehidupan dunia dan akhirat. Adapun peranan utamanya antara lain:

1.      Fungsi ibadah
Fungsi paling uatama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
2.      Fungsi amar ma’ruf nahi munkar
Fungsi dan peranan hukum adalah menciptakan kebaikan dan menghindari kemudaratan.
3.      Fungsi zawajir
Fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa, melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan.
4.      Fungsi tanzim wa Islah al-ummah
Adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial.
















BAB III
PENUTUP


3.1    Kesimpulan

Bedasarkan pembahasan di atas dapat diketahui, bahwa sumber hukum Islam memberi
kemungkinan pada umat Islam, untuk selalu melakukan pengkajian hukum islam sesuai  dengan dinamika kehidupan social masyarakat. Hal itu disebabkan antar lain karena Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama hukum Islam penunjukkannya banyak yang dhanni. Oleh karena itu menjadi kewajiban umat Islam untuk selalu berijtihad, supaya dapat memecahkan berbagai persoalalan yang muncul dalam kehidupan dengan pendekatan kekinian dan kemodernan.
Dalam melakukan Ijtihad sebagai upaya memecahkan problematika kehidupan social perlu memerhatikan beberapa hal yaitu: pertama jiwa hukum Islam yakni mewujudkan kemaslahatan dan memecahkan kemelaratan, kedua hukum Islam yakni memelihara agam, jiwa, akal, keturunan, dan harta, ketiha asas pembinaan hukum Islam anatar lain tidak memberatkan, keseimbangan antara aspek keduniaan dan keakhiratan, serta menerapkan hukum secara bertahap.
Apabila umat Islam Indonesia mau melakukan pengkajian hukum Islam dengan memerhatikan beberapa hal seperti tersebut di atas, maka kontribusi umat Islam dalam perumusan hukum nasional yang bernafaskan hukum Islam semakin besar. Di samping itu berbagai problematika hukum Islam yang muncul dalam kehidupan sosial dapat dipecahkan dengan tepat.
























[1] abdu al-hamid Hakim, al-Bayan, (Jakarta : Sa’adiyah P Putra, 1972) cet 11, hal 10
[2] Dede rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996) cet 4, hal 3
[3] Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Jakarta, 2010) hal 25
[4] Lihat QS 5:51, QS 45:17
[5] Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Jakarta, 2010) hal 26

[6] Dede rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996) cet 4, hal 31

[7] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II, (Jakarta : Universitas Indonesia (UI-press), 2012), hal 23

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Ratna Sari Maulana's All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.