0
ASPEK HUKUM ISLAM
Posted by Unknown
on
2:21 AM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang terakhir yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW. Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah mencakup
segala aspek kehidupan manusia yang berlaku bagi seluruh umat manusia di
seluruh penjuru dunia. Di dalam Agama Islam mempunyai hukum-hukum yang harus dipatuhi
yaitu Hukum Islam. Dimana pengertian Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan
oleh Allah SWT kepada umat-Nya sebagai penuntun dari problematika kehidupan
manusia yang telah terbaur dengan kemodernsasian agar tidak melanggar dari
ketentuan yang dijarkan Islam. Dengan maraknya masa modernisasi, globalisasi,
dan adat/kebudayaan sekarang ini, membuat manusia sulit untuk menelaah apakah
Hukum Islam yang berlaku di dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan Hukum
Islam yang berlaku dalam Islam? Hal ini dapat menimbulkan kontravensi di dalam
kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, tujuan dibuatnya makalah ini adalah
untuk memberikan informasi serta wawasan kepada masyarakat khususnya Umat Islam
mengenai Apakah Hukum Islam itu, Sumber-Sumber Hukum Islam, dan Fungsi dari
Hukum Islam. Semoga dengan ini masyarakat jauh lebih mengetahui tentang Hukum
Islam dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
1.2 Rumusan
Masalah
Perumusan
masalah yang penulis coba angkat dalam penulisan makalah ini adalah:
1.
Apa
pengertian dan tujuan Hukum Islam ?
2. Apa saja pembagian
hukum islam itu ?
3. Apa saja sumber-sumber
Hukum Islam ?
4. Apa fungsi dari Hukum
Islam ?
1.3 Tujuan
Penulisan
Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan
dapat:
1. Mengetahui dan
memahami pengertian dan tujuan Hukum Islam
2. Mengetahui dan
memahami pembagian hukum islam
3. Mengetahui dan
memahami sumber-sumber Hukum Islam
4. Mengetahui dan
memahami Fungsi hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
dan Tujuan Hukum Islam
A.
Pengertian Hukum Islam
Secara etimologis, kata hukum bermakna “menetapkan
sesuatu pada yang lain”.[1]
Sedangkan menurut istilah hukum adalah titah Allah yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, baik berupa tuntunan, pilihan maupun wadh’i.
Sedangakan hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan
Allah melalui wahyu-Nya, yang kini terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan Nabi
Muhammad SAW sebagai Rasulnya, melalui sunah beliau yang kini terhimpun dengan
baik dalam kitab-kitab hadis.
Hukum islam sebagai hukum yang bersumber dari Din al Islam sebagai suatu sistem hukum
dan suatu disiplin ilmu. Hukum islam di Indonesia sering kita jumpai istilah
hukum islam, syariat dan fiqh.
Istilah hukum islam merupakan istilah khas Indonesia
sebagai terjemahan al-fiqh al-islamy atau dalam konteks tertentu dari al
syariah al islamy. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai hukum islam
perlu dipahami dahulu pengertian syariah dan fiqh.
Dilihat dari sudut kebahasaan, syariah atau syariat
berarti jalan yang lurus, jalan yang dilalui air terjun, jalan tempat keluarnya
air untuk minum[2],
jalan yang jelas atau jalan raya untuk diikuti sumber air atau sumber
kehidupan.[3]
Syariah dalam arti “din” yakni
memiliki arti jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia.[4]
Pada masa Rasulullah, hidup istilah syara’i sebagai bentuk jamak dari kata
syariah digunakan dalam arti masalah-masalah pokok islam.
Syariah ialah peraturan-peraturan yang diciptakan
Allah, atau yang diciptakannya pokok-pokoknya supaya manusia berpegang
kepadanya dalam berhubungan dengan Tuhan, saudara sesama manusia, saudara
sesama muslim atau non muslim, serta hubungannya dengan alam seluruhnya dan
hubungannya dengan kehidupan ini.[5]
Ilmu yang pelajari syariah disebut dengan ilmu fiqh.
Istilah fiqh secara bahasa berarti pintar, cerdas, mengetahui sesuatu dan
memahaminya dengan baik. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah mengetahui
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang
terperinci.
Kajian ilmu fiqh adalah mengetahui hukum dari setiap
perbuatan mukallaf, tentang halal, haram, wajib, mandub, makruh atau mubahnya
beserta dalil-dalil yang menjadi dasar ketentuan-ketentuan hukum tersebut
apakah dalilnya itu dinyatakan dalam al-quran atau as-sunah.
Syariah Islam dan fiqh adalah dua istilah yang sangat
erat hubungannya dan tidak bisa dipisahkan karena syariah merupakan landasan
fiqh dan fiqh merupakan pemahaman orang yang memenuhi syarat syari’at. Hukum
Islam dalam pengertian syari’at maupun fiqh dibagi menjadi dua yaitu: bidang
ibadah dan bidang muamalah.
Berdasarkan definisi diatas, maka disimpulkan bahwa
hukum islam adalah nama bagi segala ketentuan Allah dan utusan-Nya yang
mengandung larangan, pilihan, menyatakan syarat, sebab dan halangan untuk suatu
perbuatan hukum.
Ciri-ciri hukum islam :
1. Hukum islam adalah hukum agama islam
2. Hukum islam memiliki sifat yang
universal
3. Hukum islam dalam bidang ubudiyah
halnya telah diatur sedemikian rupa dalam alquran dan assunah
4. Hukum islam dalam bidangan muamalah
cocok untuk insan kamil manusia, perasaan hukum, kesadaran hukum masyarakat
dapat dikembangkan dan senantiasa tumbuh menurut kebutuhan dan pandangan hidup
masyarakat yang dilandasi alquran dan assunah.
B.
Tujuan
Hukum Islam
Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk
mencegah kerusakan manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka serta
mengarahkan mereka pada kebenaran. Hal itu dimaksudkan untuk mencapai
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil
segala manfaat dan mencegah yang madlarat yang tidak berguna bagi hidup dan
kehidupan manusia. Abu Ishaq al- Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Isalam,
yakni memelihara Agama, jiwa , akal, keteurunan, dan harta yang disebut
(Maqashid al-khamsah).
2.2 Pembagian Hukum Islam
Ketentuan syar’i terhadap para
mukhalaf itu ada tiga bentuk yaitu, tuntutan, pilihan dan wadh’i. Ketentuan
yang dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut hukum taklifi, yang dalam bentuk
pilihan disebut takhyiri, sedangkan yang memperngaruhi perbuatan taklifi
disebut wadh’i.
1) Hukum Taklifi
Yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang menuntut para mukhalaf untuk mengerjakan atau
meninggalkannya. Hukum taklifi sebagaimana telah diuraikan, yaitu wajib,
mandub, haram, makruh dan mubah.
a. Wajib, yaitu perintah yang harus
dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang mengerjakannya
akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa.
b. Mandub, yaitu ketentuan-ketentuan
syari’ tentang berbagai amaliyah yang harus dikerjakan mukallaf dengan tuntutan
yang tidak mengikat. Dan pelakunya diberi imbalan pahala tanpa ancaman dosa
bagi yang meninggalkannya.
c. Haram, yaitu tuntutan syari’ kepada
orang-orang mukallaf untuk meninggalkan sesuatu yang dilarang untuk dikerjakan
dengan imbalan pahala bagi yang mentaatinya dan imbalan dosa bagi yang
melanggarnya.
d. Makruh, yaitu ketentuan syara’ yang
menuntut mukallaf untuk meninggalkannya dengan tuntutan yang tidak mengikat.
Meninggalkan perbuatan makruh memperoleh imbalan pahala, sementara pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut tidak menimbulkan dosa.
e. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh
dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Jika dikerjakan tidak berdosa, begitu
juga jika ditinggalkan.
2) Hukum Takhyiri
Hukum takhyiri adalah ketentuan Tuhan yang memberi
peluang bagi mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya.
Dalam pembahasan ilmu ushul hukum takhyiri biasa disebut dengan mubah.
Ketentuan mubah biasanya dinyatakan syari’ dalam tiga bentuk, yaitu dengan
manafsirkan dosa pada perbuatan yang dimaksud, dengan ungkapan penghalalan, dan
dengan tidak ada pernyataan apa-apa tentang perbuatan yang dimaksud. Contohnya
seperti mendengarkan siaran radio, menonton acara televisi, dan yang lainnya
yang tidak menimbulkan dampak-dampak negatif terhadap mereka.
3) Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu ketentuan sebagai pertanda ada atau
tidak adanya hukum taklifi. Yakni ketentuan-ketentuan yang dituntut syari’
untuk ditaati dengan baik, karena mempengaruhi terwujudnya perbuatan-perbuatan
taklif lain yang terkait langsung dengan ketentuan wadh’i tersebut.
Hukum wadh’i itu ada tiga :
a. Sabab, adalah sesuatu yang nampak
jelas yang dijadikan sebagai penentu adanya hukum. Seperti masuknya waktu shalat
yang menjadi sebab adanya kewajiban shalat. Oleh sebab itu, sejauh waktunya
belum tiba, kewajiban shalat tersebut belum ada.
b. Syarath, sesuatu yang terwujud atau
tidaknya suatu perbuatan amat tergantung kepadanya. Dan jika syarath ini tidak
terpenuhi, maka perbuatan taklifinya pun secara hukum tidak terwujud. Namun
tidak berarti bahwa setiap syarath ada hukum. Berbeda dengan sabab, karena
setiap sabab ada hukumnya.
c. Mani’, merupakan suatu keadaan atau
perbuatan hukum yang dapat menghalangi perbuatan hukum lain. Adanya mani’
tersebut membuat ketentuan lain menjadi tidak dapat dijalankan. Dengan demikian
mani’ itu tidak lebih dari sebab yang menghalangi pelaksanaan ketentuan hukum
atau sebab yang bertentangan dengan sebab lain yang mendukung terlaksananya suatu
perbuatan hukum.
2.3 Sumber Hukum Islam
Hukum islam secara garis besar
mengenal dua macam sumber hukum, pertama sumber hukum yang bersifat “naqliy”
dan sumber hukum yang bersifat “aqliy”. Sumber hukum naqliy ialah al-quran dan
al-sunah, sedangkan sumber hukum aqliy ialah hasil usaha menemukan hukum dengan
mengutamakan olah pikiran dengan beragam metodenya yaitu ijma’ sahabat. Sumber
hukum aqliy yang mengutamakan olah pikir ini terkait erat dengan istilah “fiqh”
dan perkembangan penerapan hukum islam di berbagai dunia tak terkecuali
Indonesia.
Al-quran dan Al-sunah sebagai sumber
ilmu syariah secara garis besar mecakup tiga hal :
1. Hukum yang berkenaan dengan aqidah atau
keimanan.
2. Hukum etika (akhlak) yang mengatur
bagaimana seharusnya orang itu berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan.
3. Hukum praktis (amaliyah) yang
mengatur perbuatan, ucapan, perikatan, dan berbagai tindakan hukum seseorang.
Pemaparan rinci tentang norma hukum dari sumber hukum
al-quran dan al-sunah tersebut, terutama untuk persoalan-persoalan diluar aspek
ibadah, belum menjangkau secara tegas berbagai fenomena yang terjadi. Sehingga
diperlukan kajian-kajian lebih lanjut untuk mengetahui ketentuan-ketentuan
hukumnya dengan tetap merujuk pada makna dan semangat al-quran dan al-sunah.
Untuk kepentingan kajian ini, para ulama telah melahirkan berbagai metodelogi
dan pengkajian hukumnya sehingga lahir metodelogi qias, istihsan, uruf, al-istishlah, al-dzari’ah, dan istishab.[6]
1. Al-Quran
Secara bahasa Al-Qur’an berarti bermacam-macam,
bacaaan, yang dibaca. Ditinjau dari segi terminology Al-Quran adalah kalam
Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad dengan
perantara malaikat Jibril dan tertulis di dalam mushaf yang disampaikan kepada
kita secara mutawatir dan diperintahkan membacanya.
Rangkaian kalam-kalam Allah tersebut kini telah
tertuang secara sempurna dalam sebuah kitab suci yang diberi nama al-quran al
karim, yang secara keseluruhan berisikan ajaran-ajaran akidah, syariah
(norma-norma hukum), serta norma akhlaq bagi umat manusia dalam rangka memberi
petunjuk kepada mereka agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Al-quran merupakan sendi fundamental dan rujukan
pertama bagi semua dalil dan hukum syariah, al-quran merupakan undang-undang
dasar, sumber dari segala dan dasar dari segala dasar. Al-quran sebagai sumber
hukum memiliki empat prinsip umum dalam memahami makna al-quran, yaitu :
1. Al-quran merupakan keseluruhan
syariat dan sendinya yang fundamental.
2. Sebagaian besar ayat-ayat hukum yang
turun karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya.
3. Setiap berita kejadian masalalu yang
diungkapkan al-quran jika terjadi penolakannya baik sebelum atau sesudahnya
maka penolakan tersebut menunjuk secara pasti bahwa isi berita itu sudah
dibatalkan.
4. Kebanyakan hukum yang diberitahukan
oleh al-quran bersifat kully (pokok bahasan yang berdaya cukup luas) dan
disebutkan secara objektif seperti terungkap dari penilitian.
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan
umat manusia.
a. Tuntunan yang berkaitan dengan
keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
- Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
- Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
- Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat.
2. Al-sunah
Al-sunah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi
Muhammad SAW selain al-quran, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
ketetapannya yang berkenaan dengan hukum syara. Adib Shaleh menyatakan bahwa
istilah al-sunah sering kali dipergunakan untuk ketetapan Rasulullah mengenai
hukum islam, bahkan termasuk dari para sahabatnya. Namun al-sunah yang dimaksud
dalam pembahasan ini terbatas pada norma-norma hukum yang dikeluarkan oleh
Rasulullah atau para sahabatnya yang mendapat pengesahan dari beliau.
Macam-macam Al-sunah :
1. Alsunah bedasarkan bentuknya :
a. Sunah qauliyah, berupa
ucapan/perkataan nabi dalam berbagai tujuan dan permasalahan
b. Sunah fi’liyah, adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan atau tindakan nabi
c. Sunah Taqririyah, berupa pengakuan atau
sikap nabi
d. Sunah Hamimiyah, sunah yang
berhubungan dengan sesuatu yang dikehendaki nabi tapi belum sampai
diperbuatnya.
2. Berdasarkan sifatnya mempunyai
klasifikasi sebagai berikut:
a. Hadits Shohih, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak
ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit
yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
- Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
- Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Fungsi al-sunah ialah memberikan penjelasan atau
keterangan terhadap hal yang diperkatakan di dalam al-quran. Sebab pada umumnya
hal-hal yang dibicarakan dalam al-quran itu bersifat global. Sebagai sumber hukum kedua al-sunah berfungsi
antara lain:
1) Berfungsi menetapkan dan memperkuat
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an (bayan ta’qid).Contoh seperti
larangan menyekutukan Allah.
2) Berfungsi member penjelasan terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an. Contohnya seperti suruhan untuk melaksanakan shalat yang
masih bersifat global.
3) Berfungsi untuk menetapkan hukum
yang tidak ada penjelasannya dalam Al-qur’an. Contoh seperti telah diuraikan
bahwa Al-Qur’an menentukan secara jelas tentang keharaman 4 macam hal, yaitu:
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih selain untuk Allah.
3. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya,
baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunakan akal pikiran yang sehat
dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah
ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini
berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal,
ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,”
bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang
memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum dengan
Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di
dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul
bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an
dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri”
kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju.
Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan
hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits. Orang yang menjalankan ijtihad disebut
mujtahid.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid)
harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
- mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
- memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
- menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Pada prinsipnya Ijtihad dipergunakan dalam dua hal, pertama
untuk masalah yang sudah ada nash Al-Qur’an dan Hadis, tetapi penunjukan
dalilnya bersifat zhanny. Kedua dalam maslah yang tidak ada sama sekali
penjelasannya dalam Al-Qur’an dan hadis.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah,
selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam berijtihad seseorang dapat menempuhnya
dengan cara ijma’. Ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan
orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah
SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Contoh
ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya
menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini.
Metodelogi Ijtihad
1. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti ukuran,
yakni mengetahui ukuran sesuatu dengan menisbahkkannya pada yang lain.
Sedangkan menurut istilah yang biasa digunakan para ulama adalah menghubungkan
sesuatu yang belum dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash kepada sesuatu yang
sudah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash karena keduanya memiliki kesamaan
ilat (alasan) hukum.
Berdasarkan defini yang ada, maka qiyas
bisa dikatakan benar jika memenuhi empat rukun, yaitu :
1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil
dan masalah yang diqiyaskan
Contoh kajian hukum lewat metode qiyas adalah seperti pengharaman
meminum bir (minuman keras) melalui qiyas terhadap khamar, karena sama-sama
memabukan. Sedangkan khamar sudah dinyatakan keharamannya oleh nash, yaitu
dalam surat al-maidah ayat 90.
Kajian hukum lewat metode qiyas ini merupakan proses
ijtihad aqliy, karena membawa setiap kejadian baru yang belum diketahui
hukumnya pada lingkungan dan naungan nash.
2. Istihsan
Istihsan secara bahasa berarti mengikuti sesuatu yang
menurut analisis nalar adalah baik. Istihsan ialah menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan
untuk kepentingan umum atau kepentingan keadilan, dengan meninggalkan qiyas.
Sebagai contoh metode kajian hukum secara istihsan
misalnya air bekas minuman harimau, karena binatang buas adalah najis.
Berdasarkan atas hukum ini, air bekas minuman elang karena binatang buas
semestinya najis pula. Tetapi antara cara meminum harimau dan elang terdapat
perbedaan. Harimau meminum dengan lidah sedangkan elang meminum dengan patuk.
Di lidah terdapat ludah dan dengan demikian air bekas minuman harimau telah
tercampur dengan ludah. Air bekas minuman elang tidak tercampur dengan ludah
dan patuknya adalah kering dan suci. Oleh karena itu air bekas minuman elang
tetap suci.[7]
3. Uruf
Yang dimaksud dengan uruf adalah berbagai tradisi yang
sudah menjadi kebiasaan masyarakat, baik berupa pebuatan maupun perkataan yang
sesuai dengan al-quran dan al-sunah. Dilihat dari sudut tradisinya, uruf dibagi
dua, yaitu uruf perkataan dan uruf perbuatan.
Uruf perkataan adalah kebiasaan penggunaan kata-kata
tertentu yang mempunya implikasi hukum dan telah disepakati secara bersama oleh
masyarakat. Seperti penggunaan kata “haram” untuk perceraian. Dengan demikian,
jika seorang suami mengucap perkataan “engkau telah haram bagiku” kepada
istrinya, maka telah jatuh talak kepadanya.
Kemudia uruf yang kedua adalah uruf perbuatan, yakni
berupa tindakan atau perbuatan yang telah menjadi kesepakatan masyarakat dan
mempunyai implikasi hukum. Seperti pemakaian kamar mandi atau wc umum dengan
membayar tarif tertentu tanpa batas waktu. Dengan demikian sewa tertentu cukup
untuk pemakaian kamar mandi atau wc umum dalam rentang waktu yang sesuai
kebutuhan.
Para ulama fiqh dari golongan yang memakai uruf dalam
proses kajian hukumnya mengeluarkan kaidah “al
a’datumahkamah” yang artinya bahwa kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu dapat
dijadikan rujukan dalam pembahasan hukum.
4. Al-Istishlah
Ada dua istilah yang biasa dipakai ulama ushul, yaitu
al-istishlah yang dipelopori ulama kalangan hanabilah dan al-mashlahah
al-mursalah dari kalangan maliki. Kata al-istishlah berarti mencari
kemashlahatan atau kebaikan. Sedangkan kata al-mashlahah al-mursalah berati
kemaslahatan-kemaslahatan yang menjadi dasar pertimbangan dalam pengkajian
hukum untuk persoalan-persoalan yang tidak dinyatakan dalam nash. Dengan
demikian perbedaan istishlah ini tidak membawa konsekuensi perbedaan konotasi.
Oleh sebab itu, ulama sependapat bahwa istishlah atau al-maslahah al-mursalah
adalah menetapkan hukum bagi suatu kejadian yang belum ada nashnya dengan
memperhatikan kepentingan kemaslahah, yakni memelihara agama, jiwa, akal, harta
dan keturunan.
Contohnya dalam masyarakat kecil surat nikah dan surat
cerai tak perlu. Tetapi dalam masyarakat kota besar seperti Jakarta maslahat
menghendaki supaya perceraian dan pernikahan mempunyai bukti dalam bentuk surat
cerai dan surat nikah. Sahabat ada juga yang memakai dasar ini, Abu Bakar
contohnya. Beliau memerangi suku-suku bangsa Arab yang tidak mau membayar zakat
atas dasar maslahat umum. Umat bin Khattab mengadakan peraturan-peraturan pajak
tanah, mendirikan penjara, dan menghentikan hukum potong tangan di zaman
kelaparan juga atas dasar maslahat ini.
5. Al-Dzari’ah
Dilihat dari segi kebahasaan, kata al-dzari’ah berarti
jalan yang menghubungkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Sedangkan menurut
istilah adalah sesuatu yang akan membawa pada perbuatan-perbuatan terlarang dan
menimbulkan mafsadah, atau yang akan membawa pada perbuatan-perbuatan baik dan
menimbulkan maslahah.
Sesuai dengan definisi diatas, al-dzari’ah itu terbagi
menjadi dua, yaitu yang akan membawa pada perbuatan terlarang dan menimbulkan
mafsadah dan kedua yang akan membawa pada perbuatan baik serta menimbulkan
mashlahah.
Al-dzari’ah jenis pertama termasuk perbuatan buruk
yang harus ditutup, itulah yang disebut sad al-dzari’ah. Penutupan yuridis
terhadap perbuatan tersebut bisa dengan hukum haram atau makruh. Contoh dari
sad al-dzari’ah adalah melihat aurat perempuan. Perbuatan ini harus dilarang
(diharamkan) karena akan menimbulkan zina.
Al-dzari’ah jenis ke dua termasuk perbuatan-perbuatan
baik dan harus dibuka kesempatan untuk melakukannya, inilah yang disebut dengan
fath al-dzari’ah. Pembukaan peluang untuk melakukannya bisa dengan wajib atau
mubah tergantu kemashlahatan yang akan ditimbulkannya. Contoh pengaturan pemberangkatan
haji sebagai suatu kebijaksanaan yang memberi peluang bagi umat Islam untuk
menunaikan ibadah haji, sebagai rukun islam yang ke lima.
6. Istishab
Dilihat dari segi kebahasaan kata istishab berarti
thalab al mushahabah (mencari pemilikan), yakni berusaha menetapkan suatu
ketentuan hukum tetap menjadi milik sesuatu. Sementara menurut istilah bermakna
menetapkan hukum dengan tetap memberlakukan hukum yang ada untuk saat ini dan
yang akan datang, sesuai dengan hukum yang berlaku pada suatu waktu sebelumnya,
sebelum ada dalil yang mengubahnya.
Dasar segala sesuatu dalam alam ini ialah ibadah,
yaitu dibolehkan, tidak dilarang memakai, memakan, meminum dan sebagainya.
Selama tidak ada dalil alquran, hadis dan lain lain, yang membatalkan hukum
ibadah itu, benda yang bersangkutan boleh dipakai, dimakan, atau diminum, dalam
kategori ini termasuk minuman kopi, teh, dan sebagainya. Contoh lain seseorang
yang telah berwudhu tetap dalam kesuciannya sebelum ada kejadian yang
membatalkannya bahkan keraguan akan batal atau tidak wudhunya itu pun tidak
dapat menghilangkan kesuciannya.
2.4 Fungsi Sumber Hukum Islam
Peranan dan fungsi hukum Islam dalam kehidupan
bermasyarakat adalah untuk mengatur agar hubungan itu berjalan dengan baik
menuju keseimbangan hidup manusia antara kehidupan dunia dan akhirat. Adapun
peranan utamanya antara lain:
1. Fungsi ibadah
Fungsi paling uatama hukum Islam adalah untuk
beribadah kepada Allah SWT.
2.
Fungsi amar
ma’ruf nahi munkar
Fungsi dan peranan hukum adalah
menciptakan kebaikan dan menghindari kemudaratan.
3.
Fungsi
zawajir
Fungsi hukum Islam sebagai sarana
pemaksa, melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan
yang membahayakan.
4.
Fungsi
tanzim wa Islah al-ummah
Adalah sebagai sarana untuk mengatur
sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Bedasarkan pembahasan di atas dapat diketahui, bahwa
sumber hukum Islam memberi
kemungkinan
pada umat Islam, untuk selalu melakukan pengkajian hukum islam sesuai dengan
dinamika kehidupan social masyarakat. Hal itu disebabkan antar lain karena
Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama hukum Islam penunjukkannya banyak yang
dhanni. Oleh karena itu menjadi kewajiban umat Islam untuk selalu berijtihad,
supaya dapat memecahkan berbagai persoalalan yang muncul dalam kehidupan dengan
pendekatan kekinian dan kemodernan.
Dalam melakukan Ijtihad sebagai upaya memecahkan
problematika kehidupan social perlu memerhatikan beberapa hal yaitu: pertama
jiwa hukum Islam yakni mewujudkan kemaslahatan dan memecahkan kemelaratan,
kedua hukum Islam yakni memelihara agam, jiwa, akal, keturunan, dan harta,
ketiha asas pembinaan hukum Islam anatar lain tidak memberatkan, keseimbangan
antara aspek keduniaan dan keakhiratan, serta menerapkan hukum secara bertahap.
Apabila umat Islam Indonesia mau melakukan pengkajian
hukum Islam dengan memerhatikan beberapa hal seperti tersebut di atas, maka
kontribusi umat Islam dalam perumusan hukum nasional yang bernafaskan hukum
Islam semakin besar. Di samping itu berbagai problematika hukum Islam yang
muncul dalam kehidupan sosial dapat dipecahkan dengan tepat.
[1] abdu al-hamid Hakim, al-Bayan, (Jakarta : Sa’adiyah P Putra,
1972) cet 11, hal 10
[2] Dede rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 1996) cet 4, hal 3
[3] Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta : Jakarta, 2010) hal 25
[4] Lihat QS 5:51, QS 45:17
[5] Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta
: Jakarta, 2010) hal 26
[6] Dede rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 1996) cet 4, hal 31
[7] Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid
II, (Jakarta : Universitas Indonesia (UI-press), 2012), hal 23
Post a Comment